Selasa, 02 April 2019

MENYERUKAN  SUNNAH DAN MEMPERINGATKAN DARI BID’AH.


MENYERUKAN  SUNNAH DAN MEMPERINGATKAN DARI BID’AH.
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
Belakangan ini, sebagian orang dan golongan mempermasalahkan seruan untuk meninggalkan bid’ah, yaitu sesuatu perkara yang berkaiatan dengan yang tidak pernah ada di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beralasan bahwa dakwah untuk meyeru umat agar meninggalkan bid’ah; baik dalam aqidah, ibadah atau aspek lainnya hanya akan melemahkan umat dan memantik perpecahan di tengah mereka. Bahkan dimunculkanlah kembali slogan, mari kita saling membantu dalam perkara yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan, demi kesatuan umat. Apakah klaim mereka dapat diterima dan dibenarkan?
Sunnah dan bid’ah, dua kata yang saling bertolak-belakang, namun keduanya pernah disampaikan oleh lisan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dengan nada pujian, dan perintah untuk memeganginya sekuat-kuatnya. Sementara ungkapan bid’ah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lontarkan dalam ungkapan yang menunjukkan keburukannya dan memperingatkan umat dari bahayanya  serta menyampaikannya sebagai penyebab terjadinya perselisihan dan pecah-belah di tengah umat.
Dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya memuncak, sampai-sampai Beliau seperti orang yang tengah memperingatkan pasukannya, “Waspadalah, waspadalah (dari ancaman musuh), “ dan kemudian bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara ialah perkara-perkara baru yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan. [1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا. فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَبِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ . وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh, mendengar dan taat (kepada waliyyul amr) walaupun ia seorang budak sahaya dari Habasyi. Sesungguhnya orang yang hidup dari kalian sepeninggalku, maka ia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka, kewajiban kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin yang memperoleh petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[2]
Melalui dua hadits mulia ini, menjadi sangat jelas urgensi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kewajiban mengikutinya serta keselamatan orang-orang yang menapaki jalannya dan larangan menyelisihinya.
Para Sahabat dan generasi Tabi’in telah memahami perihal ini dengan sebaik-baiknya. Maka, mereka senantiasa menyuarakan dengan terang-terangan ajakan untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperingatkan dari bid’ah.
‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah mengatakan:
إِيَّاكُمْ وَأَصْحَابَ الرَّأْيِ. فَإِنَّ أَصْحَابَ الرَّأْيِ أَعْدَاءُ السُّنَنِ. أَعْيَتْهُمُ اْلأَحَادِيْثُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا فَقَالُوْا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Jauhilah oleh kalian orang-orang yang mengutamakan ra`yu (daripada wahyu). Sesungguhnya mereka itu musuh sunnah-sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka tidak mampu menghafalkan hadits-hadits, lalu mereka berpendapat dengan rayu (sendiri). Akhirnya, mereka sesat dan menyesatkan”. [3]
‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan:
اتَّبِعُوْا وَلَا تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ. وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Ikutilah (petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), janganlah kalian mengadakan ajaran baru. Sungguh kalian sudah tercukupi, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. [4]
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz rahimahullah mengatakan:
السُّنَّةُ إِنَّمَا سَنَّهَا مَنْ عَلِمَ مَا جَاءَ فِيْ خِلَافِهَا مِنَ الزَّلَلِ, وَلَهُمْ كَانُوْا عَلَى الْــمُنَازَعَةِ وَالْجَدَلِ أَقْدَرَ مِنْكُمْ
“Sunnah itu digariskan oleh sosok yang mengetahui adanya kekeliruan bila menyelisihinya. Dan sungguh mereka itu (para Sahabat) lebih mahir untuk mempertentangkan dan berdebat daripada kalian (namun tidak mereka lakukan dan tetap mengikuti petunjuk)”. [5]
Orang yang keluar dari manhaj ini dalam berdakwah, tidak diragukan lagi, ia telah melahirkan sebuah marabahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat sosialnya. Maka, masyarakat perlu diperingatkan dari cara-cara dakwah seperti itu, yang mengabaikan peringatan bagi umat dari bid’ah-bid’ah. Dan alhamdulillah, para pembelas Sunnah Nabi dan imam-imam teladan umat telah menjalankan fungsi ini.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Para pembela Islam dan imam-imam penyeru hidayah senantiasa meneriakkan tentang mereka di seluruh penjuru dunia dan memperingatkan (umat) dari mengikuti jalan mereka dan mengikuti peninggalan-peninggalan dari seluruh firqoh yang ada”. [6]
Demikianlah, menjadi jelas manhaj dakwah generasi Salah umat ini dalam ilmu, amal dan dakwah, yaitu komitmen kuat dengan petunjuk atau Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jalannya, mendakwahkannya kepada khalayak dan memperingatkan umat dari menyelisihinya dan orang-orangnya.
Bilamana para pengusung dakwah Islam mengabaikan perihal ini dan melalaikannya, niscaya keberadaan mereka akan melemah, kekuatan mereka akan goncang, persatuan mereka akan tercerai-berai. Dan akhirnya, orang-orang pun akan terbenam dalam bid’ah dan perkara-perkara yang diada-adakan dalam agama ini.
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz rahimahullah sudah mengingatkan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah pengganti Beliau telah menggariskan petunjuk-petunjuk. Memegangi petunjuk-petunjuk itu bukti membenarkan Kitabullah dan penyempurna ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , serta kekuatan di atas agama Allâh. Siapapun tidak berhak merubah-rubah dan menggantinya, serta menggagas pandangan yang bertentangan dengannya. Barang siapa mendapatkan petunjuk tersebut, dialah orang yang memperoleh petunjuk (dengan sebenarnya). Dan barang siapa membelanya, niscaya ia akan dibela (oleh Allâh Azza wa Jalla ). Dan barang siapa menentangnya, ia telah mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukminin, dan Allâh akan biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang dikehendakinya itu, dan akan memasukkannya ke Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali”. [7]
Setelah memahami hakikat-hakikat ini, tidak patus seorang muslim yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Hari Akhir lebih memandang kuantitas yang banyak sebagai parameter kebenaran. Indikator kebenaran tidak dinilai dari jumlah pelaku dan pengikut yang banyak, namun dinilai melalui keselarasan dengan dalil-dalil-dalil syar’i, baik dari Al-Qur`ân maupun Sunnah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allâh.[Al-An’âm/6:116]
Hadits-hadits yang melarang berpecah-belah yang telah dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa umat akan berpecah-belah menjadi 73 golongan yang semua berada di neraka kecuali satu golongan, itu sebaik-baik dan sejelas-jelas dalil yang berhadapan dengan orang-orang yang menaruh perhatian untuk menyatukan umat di atas asas yang tidak berlandaskan aqidah yang benar dan  mengikuti Sunnah. Atensi besar mereka hanyalah jumlah manusia yang banyak dan mayorits yang tidak bertumpu di atas jalan yang satu.
Jumlah manusia yang banyak itu, meskipun terlihat bersatu dan menyatu, namun tetap saja masuk kategori bercerai-berai dan berpecah-belah, sebab golongan-golongan, tarekat-tarekat dan pandangan-pandangan itu tidak berpijak pada asas aqidah yang lurus dan mengikuti Sunnah Nabi. Maka, kesudahannya ialah bercerai-berai dan saling berselisih.
Jalan dakwah itu satu. Petunjuk Sunnah juga satu. Mengikuti jalannya adalah hidayah dan menyelisihanya adalah sebab kesesatan.
Oleh sebab itu, Imam Ibn Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan: “Sunnah adalah jalan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sementara (makna) jamaah ialah jama’ah kaum Muslimin. Mereka itu adalah para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik) hingga Hari Kiamat. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah kesesatan”. [8]
Kebenaran metodologi dalam memahami Islam bergantung pada aspek mengikuti Sunnah dan atsar. Dan yang menyimpang darinya, maka termasuk golongan yang berpecah-belah. Bila umat Islam berjalan di atas garis Sunnah dan meninggalkan jalan-jalan ahli bid’ah, maka akan selamat dari ketakutan terhadap musuh dan perpecahan.
Karena itulah, seluruh golongan pengusung dakwah yang mengabaikan peringatan terhadap bid’ah, hendaknya mereka mempelajari sejarah para dai generasi terdahulu dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang Al-Qur`an telah berbicara tentang mereka, dan mereka selalu berbicara dengan pedomannya, yang Islam telah menyebar melalui dakwah mereka, hendaknya golongan para pengusung dakwah itu memahami Islam sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang mulia itu (para Sahabat dan Tabi’in) dan berjalan di atas lintasan mereka dan meretas dakwah di atas metode mereka, dengan memperhatikan pola dakwah yang sejalan dengan masa kekinian, problematika yang ada, situasi dan kondisi orang-orang. Bila mereka tidak menapaki jalan ini, maka tidak akan ada keberhasilan atau kemajuan dalam dakwah apapun, sebab merupakan aktifitas yang tidak memenuhi syarat dan itu bukan amal yang shaleh”. [9]
(Diringkas dari Ususu Manhaji as-Salafi fi ad-Da’wati Ila Allâh, Fawwâz bin Halîl bin Rabâh as-Suhaimi, Dar Ibni Utsman, Cet. I, Thn.1423H-2003M, hlm.91-97)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Muslim no. 767.
[2] HR. Abu Dawud no.4607 dan at-Tirmidzi hlm.2676.
[3]Sunan ad-Dâruquthni 4/146.
[4]Al-Ibânah1/327.
[5]Al-Ibânah1/123.
[6]Ighâtsatu al-Lahafân 1/175.
[7]Asy-Syarî’ah, al-Aajurri 1/48.
[8]Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah hlm.544.
[9] Masyâkilu ad-Da’wah wa ad-Du’ât fil ‘Ashril Hadîts, Syaikh Muhammad Amân hlm.24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar