Senin, 29 April 2019

SECUIL FAEDAH SYARAH KITAB TAUHID BAB 28 POIN KE 2

بسم الله الرحمن الرحيم

SECUIL FAEDAH SYARAH KITAB TAUHID BAB 28 POIN KE 2

Allah ﷻ berfirman:
قَالُوا طٰٓئِرُكُمْ مَّعَكُمْ  ۚ  أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ  ۚ  بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ

"Mereka (utusan-utusan) itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas."
(QS. Ya Sin: Ayat 19)

SYARAH.
ALLAH ﷻ menjelaskan bahwa tatkala para Rasul menasehati dan memberi peringatan kepada kaum mereka, kaum itu justru ber-TATHAYYUR (beranggapan sial) dengan para Rasul tersebut. Maka para Rasul membantah anggapan itu dan menjelaskan bahwa keburukan yang menimpa mereka disebabkan karena kekufuran dan juga pendustaan mereka terhadapa ayat-ayat Allah. Karena, mereka itu adalah kaum yang melampai batas dan mereka amat jauh dari kebenaran. Mereka itu lebih memilih kekufuran dari pada keimanan. Itulah akibat buruk yang menimpa orang-orang kafir. (Al-Jadîd. hlm. 252)

FAEDAH.
1. Tathayyur ialah amalan kaum jahiliyah dan musyrikin.
2. Haramnya tathayyur.
3. Agama yang dibawa oleh para Rasul 'alayhimussalaam merupakan kebaikan dan keberkahan bagi orang-orang yang mau mengikuti mereka.
4. Musibah datang dengan sebab dosa dan maksiat.
5. Wajib menerima nasehat (yang baik), sebab, tidak menerima nasehat merupakan sifat orang kafir. (Al-Mulakhkhash. hlm. 226-227)


[Dinukil oleh Hendra ibni Bahrayni bin Jafani As-Salafiy dalam kitab yang berjudul "Syarah Kitab Tauhid. Bab 28 hlm. 315-316. Penerbit Pustaka Imam Syafi'i, cetakankan ke 2 - Karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Hafidzhahullahu ta'ala]

Tempat dan Waktu:
Kota Tebas (Kalimantan Barat), Senin Petang 03:56 (PM)
Tgl, 24 Sya'ban 1440 H - 29 April 2019

Silahkan di sebarluaskan semoga bermanfaat.

Sabtu, 27 April 2019

SIFAT-SIFAT YANG DENGANNYA SEORANG MUSLIM BERHAK DIKATAKAN SEBAGAI SALAFI

SIFAT-SIFAT YANG DENGANNYA SEORANG MUSLIM BERHAK DIKATAKAN SEBAGAI SALAFI.

"Bersemangat dan bersungguh-sungguh menyatukan jama'ah dan kalimat kaum Muslimin di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf." [Lihat Irsyaadul Bariyaah (hlm. 52-55)]

Hal ini merupakan tuntutan syar'i dari nash-nash Al-Qur-an, As-Sunnah, dan atsar-atsar yang dinukil dari Salafush Shalih. Allah Tabaaraka wa Ta'ala berfirman: "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan jangan kamu bercerai-berai..." (QS. Ali-'Imran ayat 103)

'Abdullah bin Mas'ud Radhiallaahu 'anhu berkata, "Wahai manusia! Hendaklah kalian taat dan mengikuti al-jama'ah (para sahabat) karena ia adalah tali Allah yg kalian diperintah (untuk berpegang teguh) dengannya, apa yg kalian tidak sukai dalam al-jama'ah, lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan." [Asy-Syarii'ah (I/298, no. 17) karya Imam al-Aajuri]

Imam Abu Ja'far ath-Thahawi Rahimahullaah (wafat th. 321 H) mengatakan, "Kami berkeyakinan bahwa al-jama'ah adalah al-haq dan benar, sedang perpecahan adalah kesesatan dan adzab."  [Syarh al-'Aqidwah ath-Thahawiyyah (hlm. 512) takhrij Syaikh al-Albani]

Imam al-Barbahari Rahimahullaah (wafat th. 329 H) mengatakan, "Asas dari al-Jama'ah ialah para Shahabat Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam dan semoga Allah merahmati mereka semua, mereka adalah Ahlus Sunnah walJama'ah. Barangsiapa tidak mengambil (agama) dari mereka maka ia telah sesat dan telah berbuat bid'ah." [Syarhus Sunnah (hlm. 59, no. 3), karya Imam al Barbahari, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi]

⸙ Dinukil dari Buku Mulia Dengan Manhaj Salaf. BAB VII karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzhahullah.

Oleh: Al-Fakir Hendra ibni Bahrayni.

Kunjungi Blogger kami dan sebarkan faedah ilmiyahnya, jazakallahu khoiron:
https://ibnbahrayni.blogspot.com/

Kamis, 25 April 2019

ILMU DAN HIDAYAH JAUH LEBIH BERHARGA DARI PADA DUNIA DAN SEISINYA.

بسم الله الرحمن الرحيم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan (fahamkan dengan ilmu) ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tetapi Setan Selalu Menghalangi-Menghalangi manusia untuk mencari Kebaikan yang paling bermanfaat dunia serta akhiratnya (Yaitu Menuntut ilmu)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وكلما كان الفعل أنفع للعبد وأحب إلى الله تعالى، كان اعتراض الشيطان له أكبر.

“Setiap kali suatu perbuatan lebih bermanfaat (baik) bagi seorang hamba dan lebih dicintai oleh Allah Ta’ala, maka hadangan setan terhadapnya akan semakin besar.”
_______________
📒 ( Ighatsatul Lahafan, jilid 1 hlm. 86 - Lihat: https://shahihfiqih.com/mutiara-salaf/setan-selalu-menghalangi-menghalangi-kebaikan/ )

Maka berfikirlah, Allah menciptakan akal manusia untuk berfikir jernih bukan meng-akal-akali agama Allah.

Allah azza wa Jalla berfirman.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?.”
(QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24)

Semoga bermanfaat.
Penyusun: Al-fakir. Hendra ibni Bahrayni bin Jafani

Rabu, 24 April 2019

Secuil Faedah Kajian Pembahasan Kitab Syarah Hilyah Tholibil ilmi.

Secuil Faedah Kajian Pembahasan Kitab Syarah Hilyah Tholibil ilmi.

(Penjelasan Adab-adab penuntut ilmu karya Syaikh Abu Bakar Zaid rahimahullah, Syarah Syaikh Usaimin rahimahullah)

Pemateri Guru kami yang Mulia: Bersama Ustadz. Arwi Fauzi Asri hafidzhahullah.

Pembahasan Adab Ke 11, 12, dan 13.

Di antara faedahnya:

ℹ Faedah poin ke 11

Berkata Syaikh Abu Bakar Zaid rahimahullah:
Seorang penuntut ilmu - yaitu berpaling dari majelis-majelis yang sia-sia.

- Jangan dia melangkahkan kakinya dimana tempat-tempat itu adalah tempat-tempat kemungkaran atau tempat-tempat orang-orang bermaksiat.

Hal yang sia-sia ada 2 macam:
1. Kesia-siaan yang tidak menimbulkan mudhorot, (tidak bermanfaat)
2. Kesia-siaan yang menimbulkan mudhorot. (Syaikh Ustaimin rahimahullah)

Kata ustadz Arwi hafidzhahullah: "Kalau benar-benar benci dengan kemungkaran, maka tinggalkanlah tempat itu... itulah cara yang benar mengingkari dengan hati. (jika tidak bisa merubah kemungkarannya.)

Sebagian orang (awam) berpendapat ketika berada di tempat-tempat kemungkaran/maksiat hanya diam dan mengingkari dengan hati tapi dirinya masih di tempat itu." (ini sikap yang salah dan keliru!) - (Syaikh Ustaimin)

ℹ faedah poin ke 12

Syaikh Abu Bakar Zaid:
"Berpaling dari kegaduhan, dan hiruk pikuk kegaduhan di pasar."

- Hakikat penuntut ilmu hendaknya dia tidak membuat kegaduhan.

ℹ Faedah ADAB ke 13

Syaikh Abu Bakar Zaid:
- Hendaknya penuntut ilmu bersikap lembut atau halus dalam berbicara (berkata-kata) dan jangan berbicara kasar.

Kata Ustadz Arwi: "Berfikir sebelum berbicara."

Syaikh Usaimin:
Pembahasan Ini (di BAB poin ke 13) akhlak yang terpenting bagi penuntut ilmu, yakni hendaknya penuntut ilmu bersikap tenang, lembut dan halus dalam berkata-kata.

Bersikap lembut pada tempat dimana dia harus lembut, dan bersikap tegas pada tempat dimana dia harus tegas. (Syaikh Ustaimin)

Hendaklah kita menjauhi kata-kata yang kasar.

Perkataan yang lembut (halus) akan melembutkan hati mereka. (Maksudnya melembutkan hati lawan bicara)

Perkataan yang lembut itu bisa memberikan pengaruh yang baik. (Syaikh Ustaimin rahimahullah)

Demikian semoga bermanfaat secuil faedah ini.

Penulis: Al-Faqir Hendra ibni Bahrayni.
Tebas. Tgl,- 24/April/2019 (Kamis, Jam 10:27 PM)

MENGENAL AL-IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH.

بسم الله الرحمن الرحيم



Muhammad bin Hatim Warraq Al-Bukhari rahimahullah menceritakan, “Aku bermimpi melihat Bukhari berjalan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali Nabi mengangkat telapak kakinya maka Abu Abdillah (Bukhari) pun meletakkan telapak kakinya di situ.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Nama dan Nasabnya

Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640)

Sanjungan Para Ulama Kepadanya

Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Imam Ahmad bin Hambal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Qutaibah bin Sa’id rahimahullahmengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.” (Hadyu Sari, hal. 646)

Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullahmenceritakan: Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan mabuk”, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada Bukhari (Hadyu Sari, hal. 646)

Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Bundar Muhammad bin Basyar rahimahullah mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman kami.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Hasyid bin Isma’il rahimahullah menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fuqoha’.” (Hadyu Sari, hal. 647)

Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari– mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)

Kekuatan Hafalan Imam Bukhari dan Kecerdasannya

Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan: Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?” Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab, aku pun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut, Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640)

Hasyid bin Isma’il menceritakan: Dahulu Bukhari biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh (para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia membacakan hadits-hadits itu semua dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya (Hadyu Sari, hal. 641)

Muhammad bin Al Azhar As Sijistani rahimahullahmenceritakan: Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641)

Suatu ketika Bukhari rahimahullah datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhari dan tingginya kedudukan beliau (lihat Hadyu Sari, hal. 652)

Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah menceritakan: Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullahmengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ (Shahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 650)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan dan memasukkannya ke dalam Surga Firdaus yang tinggi. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dapat melanjutkan perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Copyright 2019 Muslim.Or.Id. All Rights Reserved.

Sumber copy: https://muslim.or.id/640-mengenal-imam-bukhari.html


MENGAPA IMAM AL-BUKHARI MENULIS KITAB SHAHINYA? MENGENAL SISI LAIN SHAHÎH AL-BUKHÂRI.

MENGAPA IMAM AL-BUKHARI MENULIS KITAB SHAHINYA? MENGENAL SISI LAIN SHAHÎH AL-BUKHÂRI.

Oleh
Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Imam Al-Bukhâri rahimahullah menceritakan kepada kita di antara sebab-sebab beliau menulis kitab shahihnya:

كُنَّا عِنْدَ إِسْحَاقَ بْن رَاهُوَيْه، فَقَالَ: لَوْ جَمَعْتُمْ كِتَابًا مُخْتَصَرًا لِصَحِيْحِ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

”Kami pernah berada bersama Ishaq bin Râhuwaih[1] , lalu beliau berkata (kepada kami para pelajar hadits), ‘Kalau sekiranya kamu mengumpulkan sebuah kitab yang meringkas khusus (hadits-hadits) yang Shahîh saja dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”

قَالَ: فَوَقَعَ فِيْ قَلْبِيْ، فَأَخَذْتُ فِيْ جَمْعِ الْجَامِعِ الصَّحِيْحِ

Imam al-Bukhari mengatakan, “Maka perkataan beliau itu meresap ke dalam hatiku, lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al Jâmi’ush Shahîh”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan :

لَمْ أُخَرِّجْ فِيْ هَذَا الْكِتَابِ إِلاَّ صَحِيْحًا وَمَا تَرَكْتُ مِنَ الصَّحِيْحِ أَكْثَرُ

Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih, dan hadits Shahîh yang aku tinggalkan (tidak aku masukkan ke dalam kitab ini) masih lebih banyak lagi”[2].

PENJELASAN DARI SEBAGIAN PERKATAAN IMAM AL-BUKHARI
Perkataan beliau : “Lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al-Jâmi’ush Shahîh”.

Penjelasan : Beliau telah menamakan kitab shahihnya dengan nama kitab al-Jâmi’, bukan kitab sunan atau lainnya. Kitab hadits al-Jâmi’ adalah sebuah kitab hadits yang mengumpulkan seluruh bab-bab syari’ah seperti aqîdah, ilmu, ahkâm, tafsir, târîkh, adab, zuhud, manâqib, fitan, asyrâtus sâ’ah (tanda-tanda hari kiamat) dan hari kiamat. Seperti yang dapat kita lihat dari puluhan judul kitab dari bab-bab syarî’ah yang ada di al-Jâmi’ Shahîh Bukhari. Demikian juga kitab al-Jâmi’ Shahîh Muslim dan kitab al jâmi’ at Tirmidzy. Kedua orang Imam besar ini –Muslim dan Tirmidzy- adalah dua orang murid besar Imam Al-Bukhâri. Keduanya telah mengikuti manhaj guru mereka – Imam Al-Bukhâri- dalam menyusun kitab hadits dengan nama al-Jâmi’.

Perkataan beliau : “Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih.”

Maksudnya adalah.

Pertama. Hakikat takhrîjul hadits ialah mengeluarkan hadits dengan sanad dari dirinya.

Contohnya seperti Imam al-Bukhâri, dia telah mengeluarkan hadits dengan sanad darinya, dari gurunya dan seterusnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sampai kepada Shahabat Radhiyallahu anhum atau sampai kepada Tâbi’în dan seterusnya. Oleh karena itu Imam al-Bukhâri dan saudara-saudaranya sesama perawi hadits dinamakan mukharrij yaitu orang yang mentakhrîj hadits sesuai dengan ta’rif di atas.

Kedua: Adapun ketika cara yang pertama yang tadi saya terangkan tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan -yaitu mengeluarkan hadits dengan sanad darinya sendiri- seperti pada zaman kita sekarang ini, bahkan pada zaman-zaman sebelumnya, disebabkan jarak yang demikian jauhnya, dan hadits telah dicatat dan dikumpulkan oleh para Imam ahli hadits lengkap dengan sanadnya, maka takhrîjul hadîts untuk cara yang kedua ialah mengeluarkan hadits dari kitab-kitab hadîts dengan mengumpulkan sanadnya kemudian menghukumi hadits tersebut, apakah dia hadits shah atau tidak ?”

Inilah yang dinamakan takhrîjul hadîts. Oleh karena itu para Imam ahli hadits yang datang belakangan semuanya menempuh cara yang kedua ini. Adapun semata-mata memulangkan atau mengembalikan hadîts kepada asalnya seperti ungkapan hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Abu Dâwud dan Tirmidzi dan Nasâ-i dan lain-lain tanpa menghukumi hadits tersebut shah atau tidaknya, maka pada hakikatnya itu bukanlah takhrîjul hadîts.

Dari sini kita mengetahui, bahwa hakikat dari takhrîjul hadîts adalah ijtihâd bukan taqlîd. Yakni ijtihad dari seorang ahlinya mentakhrijnya setelah dia menempuh :

Pertama; Mengumpulkan sanad, memeriksanya, meneliti rawi-rawinya, matannya atau lafazh-lafazhnya dan seterusnya yang berkaitan erat dengan status hukum sebuah hadits.

Kedua; Melihat dan meneliti dengan cermat keputusan para ahli hadits mengenai status hadits tersebut.

Ketiga: Keputusan darinya, adakalanya dengan menyetujui sebagian ahli hadits yang menshahkannya atau mendha’ifkannya, dan adakalanya dia menyalahinya. Sebagai contoh yang mudah untuk saat ini adalah Imam Dzahabiy, ketika beliau mentakhrîj hadits-hadits di kitab al Mustadrak karya Imam Hâkim. Adakalanya beliau menyetujui keputusan Imam Hâkim terhadap status hukum suatu hadits, dan adakalanya beliau menyalahinya atau membantahnya. Selanjutnya, sebagian dari keputusan Dzahabiy, juga telah dibantah oleh sebagian Ulama. Dan begitulah seterusnya yang menunjukkan kepada para pelajar yang mendalami ilmu yang mulia ini, bahwa hakikat dari takhrîjul hadîts adalah sebuah ijtihad dari seorang yang ahli mentakhrîjnya bukan taqlid.

Maka apabila keputusan status hukum terhadap hadits diserahkan saja kepada ahlinya -dan dia harus menjelaskannya dan mengatakannya kepada siapa dia menyerahkan keputusan hukum tersebut supaya dia jangan dituduh sebagai pencuri- seperti dia mengatakan, bahwa hadits tersebut telah dishahkan oleh Imam fulan atau telah didha’ifkan oleh Imam fulan, maka ini adalah taqlîd bukan hakikat dari takhrîjul hadîts.

Tentunya hal yang demikian dibolehkan selama dia menyandarkannya dan menyerahkannya kepada ahlinya, bukan kepada orang-orang yang jahil atau yang bukan ahlinya. Dibolehkannya taqlîd dalam masalah ini, karena tidak ada seorangpun juga yang selamat meskipun dia orang yang ahli dalam sebagian pembahasan ilmiyyahnya, walaupun tidak menjadi kebiasaannya.

Adapun bagi orang-orang awam, maka seluruh keputusan takhrîj diserahkan kepada ahlinya. Demikian juga bagi para pelajar ilmiyyah yang tidak mendalami ilmu yang mulia ini -karena pada setiap ilmu ada orang yang mendalaminya dan ahlinya- mereka disamakan dengan orang-orang awam dalam bab ini, maka seluruh keputusan takhrîj diserahkan kepada ahlinya.

Sedikit saya panjangkan masalah takhrij ini karena seringkali terjadi kesalahan ilmiyyah dari sebagian pelajara khususnya para pemula yang mendalami ilmu yang mulia ini. Ilmu yang sangat besar ini yang membutuhkan waktu cukup lama sampai puluhan tahun untuk mempelajarinya dengan kepandaian yang cukup serta kesabaran yang dalam.

Perkataan beliau : ” Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih.”

Maksudnya : menurut keputusan beliau, bahwa semua hadits bersanad yang beliau takhrîj dalam kitab shahihnya adalah shahih. Inilah yang disebuat sebagai al ashlu atau yang asal dari kitab Shahîh al-Bukhâri atau al Jâmi’ush Shahîh yang beliau katakan semua haditsnya shahih.

Tidak termasuk ke dalam al ashlu yang beliau maksudkan dan syaratkan semua haditsnya shahih, adalah hadits-hadits mu’allaq yang beliau tidak maushulkan dalam kitab shahihnya ini. Tetapi adakalanya beliau maushulkan sendiri di kitab-kitab beliau yang lainnya, atau telah dimaushulkan oleh para Imam ahli hadits di kitab-kitab mereka seperti oleh Imam Muslim di shahihnya dan lain-lain sebagaimana telah saya jelaskan pembahasannya dengan panjang lebar di kitab Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits. Demikian juga dengan atsar dari para Shahabat dan Taabi’in dan seterusnya.

Adapun derajat dari hadits-hadits mu’allaq yang beliau rahimahullah tidak maushulkan di kitab shahihnya ini ada yang shahih, hasan dan dha’if. Demikian juga dengan atsar. Dan, beliau rahimahullah sendiri telah memberikan isyarat-isyarat ilmiyyah dengan lafazh-lafazh jazm dan tamridh sebagai pengantar bagi ahli ilmu untuk melanjutkan pemeriksaan dan menghukumi derajatnya. Saya kira –wallahu a’lam- al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah sebagai salah seorang Imam ahli hadits yang menjadi keajaiban zaman telah mengupas tuntas bab ini dalam muqaddimah dan syarahnya atas Shahîh al-Bukhâri yang tak tertandingi sampai hari ini.

Jika saudara bertanya, “Mengapakah dalam kitab Shahîh al-Bukhâri masih ada hadits-hadits yang dha’if ?” Jawabannya ialah:

Pertama : Telah ada jawabannya sebelum ini. Semoga para pembaca yang terhormat dapat membedakannya di antara al ashlu atau yang asal dari kitab takhrij Shahîh al-Bukhâri yang beliau rahimahullah syaratkan semua hadits-haditsnya Shahîh dengan yang bukan asal, tetapi hanya sebagai penguat untuk istinbâth (menyimpulkan suatu) hukum dari bab-bab ilmiyyah yang beliau rahimahullah berikan pada setiap judul kitab dari kitab shahihnya.

Kedua: Dan, ini adalah sebuah syubhat yang seringkali dilemparkan oleh sebagian orang yang berbeda maksud dan tujuannya dalam mensikapi Shahîh al-Bukhari. Biasanya ini muncul dari mereka yang mempunyai tujuan dan maksud jahat untuk meremehkan dan merendahkan kitab Shahîh al-Bukhâri serta menafikan keshahihannya secara mutlak. Mereka mengatakan banyak sekali hadits-hadits dha’if di kitab Shahîh al-Bukhari, bahkan sebagian dari mereka sampai mengatakan terdapat ratusan hadits maudhu’ (palsu) !!?

Perkataan ini selain tidak mempunyai pembuktian ilmiyyah dari jurusan ilmu riwayah dan ilmu dirâyatul hadits, juga sangat berlebihan sekali kejahilan dan kebohongannya. Biasanya keluar dari kaum zindiq seperti râfidhah (syi’ah) dan yang semanhaj atau yang terkena syubhat mereka.

Adapun para Imam yang mengomentari dan mengkritik sebagian kecil dari hadits dan rawi dalam Shahîh al-Bukhâri seperti Imam Daruquthniy dan lain-lain, mereka semuanya berjalan di atas manhaj ilmiyyahnya para ahli hadits dengan ilmu dan keadilan. Bukan dilandasi kejahilan dan kezhaliman seperti kaum zindiq râfidhah atau ahli bid’ah dari mu’tazilah dan lain-lain. Dan, kritikan sebagian Imam ahli hadits seperti Daruquthniy rahimahullah terhadap sebagian kecil hadits-hadits di Shahîh al-Bukhâri, juga telah dijawab dengan jawaban-jawaban ilmiyyah oleh para Imam ahli hadits, di antaranya oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah di muqaddimah Fat-hul Bâri’.

Ketiga: Bahwa kitab Shahîh al-Bukhâri bukan hanya sebagai kitab hadits riwayah dan diraayah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang yang berani berbicara tanpa ilmu, tetapi dia juga sebagai kitab hukum atau fiqih dari semua bab-bab syari’at. Telah sangat dikenal dikalangan para Ulama dan para pelajar ilmiyyah khususnya mereka yang berkhidmat kepada kitab ini, bahwa bab-bab ilmiyyah yang beliau rahimahullah berikan pada setiap judul kitab dari kitab shahihnya adalah merupakan fiqih atau madzhab ilmiyyah beliau rahimahullah . Karena itu beliau membutuhkan dalil-dalil dari luar seperti nash-nash al-Qur’an, hadits-hadits mu’allaq yang beliau tidak maushulkan di kitab shahihnya, atsar-atsar ilmiyyah dari para Shahabat Radhiyallahu anhum dan Tâbi’in, perkataan ahli tafsir, ahli tarikh dan ahli bahasa dan seterusnya.

Di antara bab-bab ilmiyyah itu ialah :

1. Untuk membantah firqah-firqah sesat yang telah tersesat dari manhaj yang haq, yaitu manhaj dan aqidah kaum Salaf seperti Khawârij, Râfidhah, Murji’ah, Qadariyyah mu’tazilah dan Jahmiyyah. Bahkan sebagiannya telah keluar dari Islam seperti Râfidhah (syi’ah) dan jahmiyyah. Bantahan beliau ini terdapat di sejumlah kitab atau pada sebagian bab dari kitab Shahîh beliau seperti di kitab Iman dan kitab Tauhid dan lain-lain.

2. Untuk menjelaskan keputusan fiqih atau madzhab (pendapat) yang beliau pegang. Walaupun untuk itu beliau menyalahi dan berbeda pendapat dengan keputusan para Imam atau sebagian dari mereka. Tidak mengapa, karena beliau rahimahullah memang seorang mujtahid mutlak. Beliau rahimahullah berjalan bersama dalil dari al-Kitab, Sunnah dan atsar dari para Shahabat Radhiyallahu anhum dan Tâbi’in. Karena itu sangatlah tidak tepat, ketika as-Subki dalam kitab Thabaqâtnya memasukkan beliau ke dalam madzhab asy-Syâfi’iy rahimahullah ! Beliau rahimahullah adalah salah seorang Imam madzhab yang berdiri sendiri dengan ijtihad-ijtihadnya. Beliau rahimahullah tidak hanya berbeda ijtihad dengan Imam Syafi’iy rahimahullah saja, juga dengan para Imam lainnya dalam sebagian keputusan beliau. Sungguh sangat menakjubkan saya, ketika beliau rahimahullah dalam banyak bab seringkali menyalahi dan berbeda ijtihad dengan Imam Abu Hanîfah, tetapi dalam sebagian masalah, justru beliau rahimahullah setuju dengan keputusan hukum Abu Hanîfah. Contohnya dalam masalah zakat, beliau telah membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya atau diganti dengan harganya seperti dengan barang atau pakaian dan lain-lain berdalil dengan sebagian hadits dan atsar. Pendapat beliau ini jelas sekali telah menyalahi pendapat jumhur Ulama sebagaimana telah dijelaskan oleh al Hâfizh dalam syarahnya.

3. Untuk membantah sebagian pendapat dari sebagian Imam.

4. Untuk menjelaskan bahwa dalam masalah ini para Ulama telah berselisih pendapat.

Dan seterusnya dari bab-bab ilmiyyah dari fiqih atau madzhab Bukhâri di kitab shahihnya.

Ini …! Sebagaimana telah kita ketahui dari ketegasan perkataan al-Bukhari, bahwa semua hadits yang beliau takhrij di kitab shahihnya ini –yakni al ashlu- adalah shahih. Inilah yang asal dari kitab Shahîh beliau sebagaimana telah dijelaskan di depan. Karena itu beliau menamakan kitabnya ini dengan nama[3] :

الْجَامِعُ الصَّحِيْحُ الْمُسْنَدُ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُنَنِهِ وَأَيَّامِهِ

Dari sini memungkinkan bagi kita untuk mengatakan, siapa saja yang mendha’ifkan hadits di Shahîh al-Bukhâri –yakni al ashlu-, baik dari jurusan kelemahan rawinya atau terputusnya sanad, maka orang pertama yang harus dia hadapi adalah Imam al-Bukhâri sendiri. Maka mereka mendha’ifkan harus menjelaskan sebabnya atau al jarhul mufassar (celaan yang dijelaskan sebabnya)[4] . Karena Imam al-Bukhâri telah menegakkan hujjah akan keshahihannya dengan persyaratan beliau yang sangat ketat sekali, yaitu[5] :

Syarat pertama: Rawi tersebut haruslah tsiqah. Berbicara tentang rawi-rawi al-Bukhâri di kitab shahihnya sangat luas sekali yang dapat saya ringkas sebagai berikut :

Pertama: Imam al-Bukhâri telah memakai di kitab shahihnya ini dari rawi-rawi yang tsiqah dalam ‘adalahnya dan kedhabithannya dan sedikit sekali kesalahannya. Maka rawi yang seperti ini walaupun dia menyendiri (tafarrud) dalam meriwayatkan hadits, Imam al-Bukhâri tetap memakainya disebabkan ketsiqahannya. Inilah yang menjadi syarat al-Bukhâri dan juga syarat Muslim.

Kedua: Rawi-rawi yang martabat ketsiqahannya di bawah yang pertama yang tidak mempunyai kekuatan kalau berdiri sendiri, maka kebiasan Imam al-Bukhâri terhadap rawi yang seperti ini, beliau selalu mengiringi riwayatnya dengan rawi yang lainnya untuk menguatkannya.

Ketiga: Apabila seorang Imam banyak sekali rawi yang meriwayatkan hadits darinya dan mereka berthabaqah (bertingkat-tingkatan) seperti al lmam az-Zuhri rahimahullah sampai lima (5) thabaqah rawi yang meriwayatkan hadits darinya, maka syarat Imam Al-Bukhâri adalah memilih thabaqah yang pertama dari murid-murid az-Zuhri rahimahullah seperti Mâlik bin Anas rahimahullah, Sufyân bin ‘Uyaynah dan lain-lain. Karena mereka sangat tsiqah dalam ‘adalahnya dan kedhabithannya dalam meriwayatkan hadits-hadits az-Zuhriy dibandingkan dengan thabaqah kedua dan ketiga apalagi keempat dan kelima. Selain itu, mereka juga sangat dekat sekali dengan az-Zuhri dalam persahabatan dan pertemanan yang cukup lama, yakni mereka bermulâzamah, sampai ada di antara mereka yang menemani az-Zuhri baik dalam safar maupun muqim, sehingga mereka sangat paham betul dan hapal (al hifz) serta mutqin (kokoh dan kuat) akan hadits-hadits az-Zuhri.

Adapun thabaqah yang kedua walaupun mereka se-tsiqah yang pertama, tetapi tetap saja mereka tidak semahir thabaqah yang pertama dalam hifz, itqân dan lamanya bermulâzamah dengan az-Zuhri. Thabaqah yang kedua inilah yang menjadi syarat Muslim di kitab shahihnya seperti al-Auzâ’i dan Laits bin Sa’ad dan lain-lain. Kadang-kadang Imam al-Bukhâri meriwayatkan juga hadits-hadits az-Zuhri dari thabaqah yang kedua ini, tapi tidak lengkap dan kebanyakan mu’allaq. Demikian juga thabaqah ketiga sedikit sekali dan juga mu’allaq.

Adapun Imam Muslim telah meriwayatkan hadits-hadits az-Zuhri dari thabaqah pertama dan kedua secara lengkap dan menyeluruh dan menjadi syaratnya. Kemudian thabaqah ketiga seperti Imam al-Bukhâri pada thabaqah kedua. Demikian juga dapat diqiyaskan dengan para Imam ahli hadits lainnya seperti Sa’id bin Musayyab, al A’raj, al ‘Amasy, Nâfi’, Qatâdah, Syu’bah dan lain-lain yang mempunyai murid-murid yang banyak sekali sehingga mereka berthabaqah. Imam al-Bukhâri senantiasa memilih thabaqah yang pertama yang menjadi syaratnya khususnya di kitab shahihnya.

Inilah salah satu kelebihan dan keutamaan Shahîh al-Bukhâri dari Shahîh Muslim dari jurusan pemilihan terhadap rawi-rawi hadits di kitab Shahîh keduanya sebagaimana telah dikatakan para Imam ahli hadits.

Syarat kedua: Adanya ketetapan atau kepastian bahwa rawi tersebut bertemu dengan syaikhnya dan ada ketegasan bahwa dia mendengar dari syaikhnya atau sharraha bit tahdits, misalnya dia mengatakan :

حَدَّثَنِي – حَدَّثَنَا أَوْ أَخْبَرَنِي – أَخْبَرَنَا أَوْ سَمِعْتُ – سَمِعْنَا

Aku atau kami diberitahu; aku atau kami mendengar

Dan lafazh-lafazh lain yang menunjukkan bahwa dia memang benar-benar mendengar dari syaikhnya itu walaupun hanya sekali, sudah cukup bagi al-Bukhâri untuk membuktikannya. Kemudian setelah itu dia mempergunakan lafazh ‘an’anah (عَنْ فُلاَن) dari syaikhnya, tidaklah mengapa bagi al-Bukhari, karena telah terbukti bahwa dia bertemu dan mendengar dari syaikhnya. Tetapi apabila tidak ada kepastian dan ketegasan seperti yang telah saya jelaskan tadi, misalnya rawi itu hanya mempergunakan lafazh ‘an’anah saja –walaupun rawi itu bukan seorang mudallis- maka menurut madzhab Bukhâri sanad itu tidak ittishâl (bersambung)[6] . Itulah madzhab Imam al-Bukhâri yang beliau rahimahullah nyatakan di kitab Târîkhnya dan di kitab Shahîhnya. Sampai-sampai beliau mentakhrîj sebagian hadits di kitab Shahîhnya yang tidak berkaitan dengan judul bab yang beliau rahimahullah berikan hanya untuk menjelaskan bahwa rawi itu benar-benar telah mendengar dari syaikhnya, karena sebelumnya rawi itu di tempat yang lain di kitab Shahîhnya mempergunakan lafazh ‘an’anah, maka sekarang beliau menjelaskannya sehingga Nampak jelas bahwa isnadnya muttashil.

Adapun Imam Muslim, beliau tidak menjadikan syarat yang kedua Imam al-Bukhâri ini sebagai sebuah syarat di kitab shahihnya. Madzhab Muslim rahimahullah, sebagaimana beliau rahimahullah jelaskan sendiri di muqaddimah shahihnya dengan penjelasan panjang lebar dalam bantahan yang sangat keras kepada sebagian Imam yang menyalahinya, bahwa seorang rawi apabila sezaman dengan syaikhnya maka riwayat ‘an’anahnya menunjukkan muttashil, walaupun belum ada kepastian bahwa keduanya bertemu, kecuali kalau rawi itu seorang mudallis, maka riwayat ‘an’anahnya tertolak sampai dia sharraha bit tahdîts (dengan tegas meriwayatkan dengan kalimat misalnya, aku atau kami diberitahu)

Sekali lagi kita dapatkan tafdhil (kelebihan dan keutamaan) Shahîh al-Bukhâri dari Shahîh Muslim dari jurusan ittishâl atau bersambungnya sanad. Karena syarat Imam al-Bukhâri lebih kuat, lebih kokoh dan lebih nyata ittishâlnya dari Muslim yang tidak mensyaratkannya. Meskipun demikian, madzhab Muslim rahimahullah yang juga menjadi madzhabnya jumhur Ulama wajib di terima. Yaitu riwayat ‘an’anah dari rawi yang tsiqah yang tidak disifatkan dengan tadlîs dihukumi ittishâl. Tetapi jumhur juga mengatakan, bahwa syarat Imam al-Bukhâri lebih unggul dari syarat Muslim. Dari sini kita mengetahui, betapa Imam al-Bukhâri telah menempuh jalan-jalan yang sangat sulit dan sempit sekali khususnya di kitab shahihnya dalam rangka membela Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tafdhil (kelebihan dan keutamaan) Shahîh al-Bukhâri dari Shahîh Muslim yang lain lagi adalah bahwa para rawi dan hadits yang di kritik atau didha’ifkan oleh sebagian Imam ahli hadits yang terdapat di kitab Shahîh al-Bukhâri jumlahnya lebih sedikit dari yang ada dalam kitab Shahîh Muslim. Tentu yang jumlahnya sedikit lebih utama dari yang banyak.

Tafdhîl (kelebihan dan keutamaan) yang lain lagi yaitu Imam al-Bukhâri lebih alim dari Imam Muslim dalam ilmu yang mulia ini khususnya atas persaksian Muslim sendiri selain kesepakatan para Ulama. Imam Muslim adalah murid Imam al-Bukhâri dan keluaran (madrasah)nya, karena itu Muslim senantiasa mengambil faedah dari Imam al-Bukhâri dan mengikuti jejaknya.[7]

Setelah Imam al-Bukhîri menjawab pertanyaannya tentang illah (penyakit) sebuah hadits, imam Muslim rahimahullah mengatakan :

لاَ يُبْغِضُكَ إِلاَّ حَاسِدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مِثْلُكَ

Tidak ada yang membencimu kecuali orang yang hasad, dan aku bersaksi sesungguhnya tidak ada di dunia ini orang yang sepertimu.

Dalam riwayat lain, Imam Muslim mengatakan, “Wahai ustadznya para ustadz, dan sayyidnya para muhadditsiin, dan thabib (dokter)nya hadits pada penyakit-penyakitnya…”.[8]

Karena itu para Ulama telah sepakat bahwa kitab Shahîh al-Bukhâri lebih Shahîh dan lebih utama dari kitab Shahîh Muslim. Kesepakatan mereka telah diterangkan oleh para Imam ahli hadits seperti Ibnu Shalah di kitabnya ‘Ulûmul Hadîts, dan an-Nawawi di kitab Taqrîbnya atau Mukhtasharnya atas kitab Ibnu Shalah tadi, yang kemudian disyarahkan oleh Suyuthi di kitab Tadrîbnya, dan al-Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimahnya, dan di kitabnya Syarah Nukhbah dan di kitabnya an-Nukat ‘ala Kitâbi Ibni Shalah.

Ketika Shahîh al-Bukhâri lebih Shahîh dan lebih utama dari Shahîh Muslim, maka dengan sendirinya Shahîh al-Bukhâri menjadi se-shahih-shahih kitab hadits dan se-shahih-shahih kitab sesudah Kitâbullâh. Kemudian sesudah Shahîh al-Bukhâri adalah Shahîh Muslim. Maka kedua kitab shahîh ini –al-Bukhari dan Muslim- adalah se-shahih-shahih kitab sesudah Kitâbullâh.

Oleh karena itu derajat hadits yang tertinggi ialah yang disepakati oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim, dari jalan Shahabat yang sama, dengan lafazh yang sama atau terdapat perbedaan di dalam susunannya, tetapi dengan makna yang sama, dan pada sebagiannya adakalanya terdapat beberapa tambahan lafazh.[9]

Kemudian ada beberapa hal sangat penting yang perlu diketahui oleh para pembaca yang terhormat :

Pertama: Perkataan Ulama bahwa kedua kitab Shahîh –shahih al-Bukhâri dan Shahîh Muslim- adalah se-shahih-shahih kitab hadits dan se-shahih-shahih kitab sesudah al-Qur’an, tidaklah berarti sama sekali tidak ada kesalahannya, misalnya dari kelemahan hadits disebabkan rawinya atau sanadnya atau kesalahan pada lafazhnya atau kewahaman rawi dan lain sebagainya dari penyakit-penyakit hadits. Tidak begitu ! Karena tidak ada satupun kitab yang selamat dari kesalahan kecuali Kitâbullâh, dan tidak ada yang ma’shum kecuali Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah terbukti secara ilmiyyah, bahwa sebagian Imam ahli hadits telah mengomentarinya, mengkritiknya dan melemahkannya seperti al Imam Daruquthniy amirul mu’minin fil hadits dan lain-lain.

Kedua : Tidak semua yang dikritik atau dilemahkan oleh sebagian Imam seperti Daruquthni dan lain-lain benar adanya dan diterima secara mutlak oleh para Imam ahli hadits! Bahkan semuanya telah terjawab dengan jawaban-jawaban ilmiyyah oleh para Imam ahli hadits di antaranya al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah di Muqaddimahnya dan di Syarahnya. Ini menunjukkan akan ketinggian dan kebesaran kedua kitab Shahîh khususnya Shahîh al-Bukhâri.

Ketiga : Bahwa sejak awal kemunculan kitab Shahîh al-Bukhâri pada masa hidup penulisnya, dia telah di uji dengan ujian yang sangat berat sekali oleh para Imam ahli hadits. Dan, tidak ada ujian yang lebih berat bagi Imam al-Bukhâri dan kitab Shahîhnya selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari guru-guru besar beliau seperti Ahmad bin Hambal dan lain-lain banyak sekali.

Telah berkata Abu Ja’far Mahmud bin ‘Amr al ‘Uqailiy, “Ketika Imam al-Bukhâri telah selesai mengarang kitab shahihnya, beliau menghadapkannya kepada Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, dan yang selain mereka, maka mereka semua menilainya bagus dan memberikan kesaksian akan keshahihannya, kecuali empat buah hadits”.

Al ‘Uqailiy melanjutkan, “Pendapat yang benar adalah pendapat Imam al-Bukhari, empat buah hadits itu shahih”.[10]

Maka tidak ada pujian yang lebih besar kepada Imam al-Bukhâri dan kitab Shahihnya selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari guru-guru besar beliau seperti Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain Imam banyak sekali.

Imam al-Bukhâri pernah mengatakan tentang Ali bin Madini –guru besar beliau- , “Aku tidak pernah merendahkan diriku di sisi seorangpun juga kecuali di sisi Ali bin Madini.”

Ketika perkataan Imam al-Bukhâri ini disampaikan orang kepada Ali bin Madini, maka beliau rahimahullah mengatakan, “Tinggalkanlah perkataannya (yang telah memujiku)! Dia sendiri tidak pernah melihat orang yang seperti dirinya!”[11]

Kemudian dari guru beliau yang lain lagi. Imam al-Bukhâri mengatakan, “Sahabat-sahabat (murid-murid) ‘Amr bin Ali al Fallâs pernah menanyakan kepadaku tentang sebuah hadits, maka aku jawab, “Aku tidak tahu.” Mendengar jawaban ini, merekapun merasa senang sekali. Kemudian mereka mendatangi ‘Amr bin Ali sambil mengatakan, “Kami bermudzakarah (berdiskusi) dengan Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) tentang sebuah hadits, maka dia tidak mengetahuinya.”

Lalu ‘Amr bin Ali mengatakan, “Hadits yang tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits.”[12]

Dan lain-lain banyak sekali pujian dan pengakuan yang benar dari guru-guru beliau pada ilmu dan kitab shahihnya, maka yang di bawah mereka dalam ilmu dan zaman tentu min baabil aula.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Beliau amirul mu’minin fil hadits salah seorang Imam Ahlus Sunnah dan gurunya Imam al-Bukhari dan shahabat dekat Imam Ahmad.
[2]. Hadyus Sâri Muqaddimah Fat-hul Bâri’ Syarah Shahîh al-Bukhari (hlm. 9) oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar.
[3]. Hadyus Sâri (hlm. 10).
[4]. Hadyus Sâri (hlm. 364-366 dan 403-404).
[5]. Hadyus Sâri (hlm. 11-15).
[6]. Hadyus Sâri (hlm. 13-14)
[7]. An-Nukat (hal: 64) dan Syarah Nukhbah oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar.
[8]. Hadyus Sâri (hlm. 513).
[9]. Al-Fath di akhir kitab ilmu.
[10]. Hadyus Sâri (hlm. 9 dan 514).
[11]. Hadyus Sâri (hlm. 506-507).
[12]. Hadyus Saari (hal: 508).

Sumber: https://almanhaj.or.id/3870-mengapa-imam-al-bukhari-menulis-kitab-shahihnya-mengenal-sisi-lain-shahih-al-bukhari.html

Selasa, 23 April 2019

SIKAP KITA JIKA ADA PERBEDAAN PENDAPAT DI ANTARA PARA ULAMA.

Kita bingung menentukan mana pendapat yang benar jika kita menemukan ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama?

Berdo'alah kepada Allah.

Kala kita menemukan ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, harusnya kita berdo'a kepada Allah dahulu, meminta petunjuk kepada Allah agar kita di bukakan petunjuk-Nya. Barulah kita berusaha melihat dalil-dalil dari para ulama tersebut mana pendapat yang paling mendekati kebenaran.

Termasuk aib bagi penuntut ilmu kata syaikhul islam ibnu taimiyah (rahimahullah) kalau seorang penuntut ilmu ketika menemukan perbedaan pendapat dikalangan para ulama dia langsung mendahulukan hp-nya, (kemudian search di google), mengandalkan ustadz-nya, apalagi lebih mendahulukan (mengandalkan) kecerdasannya dan yang lain semisalnya tanpa meminta petunjuk dahulu kepada Allah (dengan berdoa) sebelum ikhtiyar untuk melakukan usaha mencari pendapat ulama yang mendekati kebenaran.

[#Faedah kajian streaming Ustadz. NuzulDzikri hafidzhahullahu ta'ala. Oleh: Hendra ibni Bahrayni]

semoga bermanfaat.

Jumat, 19 April 2019

Faedah Tanya Jawab bersama Guru Kami Ustadz Syamsidar Mahyan Su'ud hafidzhahullah.

TANYA JAWAB USTADZ.

PENANYA:

السلام عليكم إستاذ

Ana mau nanya, bagaimana sikap seharusnya kita jika sebelumnya menemukan satu hadits dan hadits ini di katakan hasan atau shahih yang mana hadits ini kita lihat banyak di amalkan ikhwan bahkan di amalkan guru kita sendiri, namun berbeda pendapat dengan tanggapan ustadz lain yang mana ustadz yang ini mengatakan hadits ini di lemahkan ulama..

Dalam keadaan seperti ini tentulah kalau ana pribadi merasa ragu akan hadits tersebut utk mengamalkannya. Bagaimana ana menyikapinya ustadz, kalau ana mengambil pendapat yang melemahkan hadits tersebut?

Semoga Allah memberikan taufiq kepada ustadz. Aamiin

Saya akan memberikan contohnya ustadz.

Ana menemukan artikel ini 👇

"Ustadz bagaimana posisi tumit saat sujud, apakah tegak dengan merapatkan keduanya atau merenggangkannya?

Jawab: Perlu diketahui, bahwa riwayat yang menjadi landasan merapatkan kedua tumit ketika sujud yaitu dari jalur Sa'id bin Abi Maryam dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Ayyub, telah menceritakan kepadaku 'Umaroh bin Ghoziyah, aku mendengar Abu Nadhroh berkata, aku mendengar 'Urwah, ia berkata 'Aisyah berkata:


 فَقَدْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي. فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصَّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ


“Aku kehilangan Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam sewaktu beliau tidur bersamaku di atas tempat tidurku. Lalu aku mendapati beliau sedang sujud dengan merapatkan kedua tumitnya, dan ujung jari-jari kaki beliau menghadap ke arah kiblat.” (HR. Ibnu Khuzaimah 654, Ibnu Hibban 1933, Ath-Thohawi dalam "Syarh Ma’anil Atsar" 1/234 dan "Musykilul Atsar" hal. 111, Al-Hakim 1/228, Al-Baihaqi dalam "Al-Kubro" 2/116, Ibnu 'Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 23/248 - "Laa Jadida Fi Ahkamis Sholah" hal. 72)

Syaikh Al-'Allamah Bakr Abu Zaid berkata, "Komentar Al-Hakim, "Hadits ini shohih sesuai syarat Al-Bukhori dan Muslim, akan tetapikeduanya tidak meriwayatkannya. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyebut merapatkan tumit saat sujud selain dari hadits ini." -selesai-.

Al-Imam Adz-Dzahabi menyepakati penshohihan Al-Hakim dalam Talkhish-nya. Akan tetapi penilaian Adz-Dzahabi ini terbilang ganjil, karena beliau menilai cacat hadits-hadits yang lain lantaran Yahya bin Ayyub ini. Hal itu dinyatakan oleh beliau dalam Talkhish-nya 2/201, 3/97, 4/44, 4/243.

Lebih lanjut Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, "Yahya bin Ayyub kendati haditsnya diriwayatkan oleh "Al-Jamaah" (yakni kitab hadits yang enam) -Al-Bukhori beliau meriwayatkannya sebagai sanad pendukung-, akan tetapi para Huffadzh berbeda pendapat dengan perbedaan yang banyak, antara yang mentsiqohkan, mencelanya, dan yang bersikap pertengahan. Karena dalam haditsnya ada ghoro'ib dan manakir (hadits-hadits yang ghorib dan munkar) sehingga harus berhati-hati." (Idem, hal. 73)

Maka Syaikh Bakr menegaskan, "Lafal "merapatkan kedua tumit saat sujud" adalah lafal yang "syadz" (lemah). Asal usul hadits ini ada dalam shohih Muslim dari 'Aisyah tanpa penyebutan "merapatkan kedua tumit". Dan komentar Al-Hakim di atas sesungguhnya sebagai bukti menunjukkan syadznya lafal tersebut." (Idem, hal. 74)

Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i berkata, “Sekalipun Yahya bin Ayyub terbilang rowi Al-Bukhori dan Muslim, akan tetapi pada dirinya ada pembicaraan. Maka yang nampak lafal "merapatkan kedua tumit" adalah syadz (lemah).” (Ta’liq Mustadrok Al-Hakim 1/340 nomor 835)

Jadi pendapat yang kuat adalah merenggangkan kedua tumit ketika sujud. Ini yang sesuai lahiriyah riwayat 'Aisyah, "Aku merasa kehilangan Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam di suatu malam dari tempat tidurku, lantas aku mencari beliau dan tiba-tiba tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau yang sedang berada di masjid, kedua telapak kaki beliau tegak berdiri." (HR. Ahmad 6/58, 201, Muslim 1/352, Abu Dawud 1/547, An-Nasa'i 1/102, Ad-Daruquthni 1/143 dan Ibnu Abdil Barr dalam "At-Tamhid" 23/349)

Lahiriyah riwayat ini menunjukkan renggangnya kedua tumit beliau; sama seperti renggangnya paha dan betis beliau ketika sujud. Para Ulama Syafiiyyah berpendapat sunnahnyamerenggangkan kedua kaki ketika sujud. Hal inidisampaikan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam "Ar-Roudhoh" 1/259. Begitu pula para Ulama Hanabilah seperti yang dinyatakan oleh Al-Burhan bin Muflih dalam "Al-Mubdi'" 1/457. Wa billahit tawfiq." (sekian masalah dan artikel yang di tanyakan)

JAWAB:

kami brtanya kpd Syaikh Umar Ghareb tentang hadits trsebut,beliau menjelaskn hadits ini di shohihkn Syaikh Albani,dan di terima oleh Ibnu khuzaimah dn Imam baihaqi.

yg jelas ulama berbeda pendapat tentang hadits ini,dn hal itu yg menyebabkn trjadinya khilaf di kalangan ulama tentang fiqh.

akn tetapi kita juga di ajarkn oleh pr ulama bgmb sikap kita trhadap perbedaan pendapat.

Perbedaan ada 2 macam.
1.Perbedaan antara ahlussunnah dgn ahlul bid'ah.ini adlh hakikat perbedaan krn ahlulbid'ah dalilnya hawa nafsu,dan ahlussunnah mengedepankan dalil quran dn sunnah.

2.Perbedaan antara ahlussunnah,sikap kita adalah :

hal ini ada 2 macam.
perbedaan yg saling bersebrangan tentang halal dan haram,misal di zaman sahabat berbeda tentang riba fadhal.
dan perbedaan tanawwu' yaitu bentuknya hanya keragaman,perbedaan jenis ini ada 2 macam,yaitu
1.hal yg di bicarakan yg sifatnya keragam.

2. yaitu perbedaan dlm ungkapan yg intinya adlh sama,misal ulama mengatakn sholat di depan kuburan adlh haram,tp imam ahmad mengatakan makruh,keduanya adlh sama yaitu haram krn pr ulama memahami makna makruh adlah haram.

maka sikap kita tergantung kpd bentuk apa perbedaan itu.

3.perbedaan yg trjadi di kalangan ahlussunnah adlh ikhtilaf suriyyun yaitu perbedaan yg hanya dlm gambarannya saja.pd hakikatnya tdk ad perbedaan di antaranya,yg mana smua mrk brusaha mengikuti dalil.

para ulama sepakat bahwa wajib utk mengikuti dalil.

Sebab2 perbedaan antara ahlussunnah di antara ulama :
1.dalil blm sampai kpd ulama yg mengeluarkan pendapat yg berbeda.hal ini terjadi di kalangan sahabat dn setelah sahabat.

2.Bs jd hadits telah sampai,akan tetapi ia tdk menguatkan hadits tersebut dgn bbrp sebab,Umar mengatakan bahwa seorang wanita yg di talaq 3 mk suami msh wajib mwmberin nafkah bg istrinya,sementara ad shohabiyah yg mengkhabarkn dari Nabi yg berbeda dgnnya.

3.Dalil sdh sampai akan tetapi mrk lupa terhadap dalil.

4.Dalil sudh sampai pd org alim,akan tetapi ia memahaminya tdk sesuai dgn makna yg di maksudkn dalil.

5.Dalil tlh sampai,akan tetapi ia tdk mengetahui bhw ad hadits yg lain telah menghapus hadits tersebut.

6.ia berkeyakinan bhw ada dalil yg lbh kuat dgn dalil yg ia selisihi,sehingga mwnghasilkn perbedaan pendapat.

7.seorang alim berdalil berpendapat dgn hadits yg lemah,atau hadits shohih tp pemahaman yg lemah.

sikap kita adalah :
1.kita mengatahui bhwa perbedaan pendapat anatara ahlussunah adlh dlm rangka mengikuti dalil dn ini tdk mengeluarkan dr sunnah.

2.bhwsanya seorang muslim lbh mendahulukan mempwrbaiki diri sendiri sblm sibuk memperbaiki diri sendiri.

3.bhw ahlussunnah mrk adlh mengikuti sunnah dlm seluruh ajarannya,adlh kesalahan dlm perbedaan pendapat dgn adab yg buruk dn tercela.

4.bahwa tujuan yg paling agung dlm nahi mungkar dn amr makruf,yaitu menunjukan kebenaran kpd orang lain,dn menerangkn yg haq .

5.kita hrs bs membedakan antara mudaroh dgn mudahanah,mudaroh adlh sikap kita menyampaikn kebenaran dgn cara yg baik,sdg kn mudahanah yaitu rela mengikuti kebathilan dgn meninggalkan kebenaran agar org senang kpd nya.

6.tidak menutup pintu saling nasehat menasehati dalam kebenaran dgn cara yg baik.

----
PENANYA:
Berarti bagaimana ustadz,

bolehkah kita berpendapat bahwa ulama yg melemahkan hadits merapatkan tumit itu di anggap bantahannya yg lemah tanpa sedikit mengurangi penghormatan terhadap kritikan tersebut? Bahwasanya maksud saya kita tetap boleh mengamalkan hadits yg telah di ktitik tersebut, karena alasan ulama ada yang menshahihkan haditsnya.

Baarakallahu fiik ustadz.

JAWAB:

dlm hal ini memilih pndpt ulama yg lbh senior,dn mengamalkn nya dk mslh.

PENANYA:
Subhanallah.. saye izin mencatat tanya jawab ini ustadz sebagai faedah. Jazakallahu khoiron ustadz.

JAWAB:
tambahan
dn brusaha meliat dalil2 atau argumen jk kt meliat argumennya kuat mk itu yg kita ambil.

***
Na'am ustadz.. syukron.. baarakallahu fiik.

TANYA JAWAB DAN FAEDAH BERSAMA GURU KAMI.
USTADZ. SYAMSIDAR MAHYAN SU'UD hafidzhahullah (Di Yaman)
Saptu 20 April 2019 (Jam 00:50)

Oleh: Hendra ibni Bahrayni (Dari Tebas-Kalimantan Barat)

Kamis, 18 April 2019

HARAMNYA DEMOKRASI DAN PEMILU

Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’i rohimahullôh mengatakan:

دُعَاةُ الدِّمُقْرَاطِيَّةِ يَدْعُونَ إِلَى الشِّرْكِ.

“Para Du’ât (penyeru) demokrasi, adalah orang yang menyeru kepada kesyirikan.” [Lihat “Ghôrotul Asyrithoh” (1/17)]

Beliau rohimahullôh juga mengatakan:

وَمَنْ يَتَبَاهَى بَالدِّمُقْرَاطِيَّةِ، فَوَاللَّهِ إِنَّهَا لَخِيَانَةٌ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ.

“Barangsiapa berbangga dengan demokrasi maka demi Allôh, hal tersebut adalah pengkhianatan kepada Allôh dan RosulNya.” [Lihat “Ghôrotul Asyrithoh” (1/315)]

Beliau rohimahullôh juga mengatakan:

وَمَنْ دَعَا إِلَى الدِّمُقْرَاطِيَّةِ وَهُوَ يَعْرِفُ مَعْنَاهَا فَهُوَ كَافِرٌ، لِأَنَّهُ يَدْعُو إِلَى أَن يَكونَ الشَّعْبُ شَرِيكًا مَعَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Barangsiapa menyeru kepada demokrasi dalam keadaan ia mengetahui maknanya, maka dia kafir. Karena ia menyeru untuk menjadikan rakyat sebagai serikat (tandingan) dengan Allôh azza wa jalla.” [Lihat “Qom’ul Ma’ânid” (221-222)]

Beliau rohimahullôh juga mengatakan:

الدِّمُقْرَاطِيَّةُ طَاغُوتِيَّةٌ.

“Demokrasi adalah Thoghut!.” [Lihat “Ghôrotul Asyrithoh” (1/354)]

Beliau rohimahullôh juga mengatakan:

الدِّمُقْرَاطِيَّةُ فِيهَا تَعْطِيلُ كِتَابِ اللَّهِ، وَتَعْطِيلُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Demokrasi terdapat padanya penelantaran terhadap Kitabullôh dan Sunnah Rosulillâh shollallôhu alaihi wa sallam.” [Lihat “Ghôrotul Asyrithoh” (1/485)].

Beliau rohimahullôh juga mengatakan:

أَهْلُ السُّنَّةِ مَا يَتَلَوَّنُونَ نَحْنُ نَقُولُ اليَومَ وَغَدًا وَبَعْدَ غَدٍّ: الإِنْتِخَابَاتُ طَاغُوتِيَّةٌ مُحَرَّمَةٌ.

“Ahlus Sunnah tidaklah berubah-ubah, kita katakan hari ini, maupun esok dan setelah esok bahwa Pemilu adalah Thoghut lagi Harom.” [Lihat “Tuhfatul Mujîb” (401)]

Dicuplik dan diringkas dari kitab: “I’lâmul Ajyâl bi Kalâmil Imâm Al-Wâdi’i fiel Firoqi wal Kutubi war Rijâl”

 @Ikhwahngawi
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sumber artikel: https://kebenaranhanya1.wordpress.com/type/chat/page/4/

Wallahu ta'ala a'lam.

Minggu, 14 April 2019

PENDAPAT SEORANG ULAMA HANYA BOLEH DIIKUTI JIKA SESUAI DENGAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH

PENDAPAT SEORANG ULAMA HANYA BOLEH DIIKUTI JIKA SESUAI DENGAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأُصيب، فانظروا في رأيي، فكلما وافق الكتاب والسنة فخذوا به، وكلما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه.

"Sesungguhnya saya hanyalah seorang manusia yang bisa keliru dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapat saya, jadi selama sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah maka ambillah, dan setiap kali tidak sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah maka *tinggalkanlah!.."
[Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, jilid 1 hlm. 775]

Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

"Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” [Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63]

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” [I’lamul Muwaqi’in, 2: 282]

Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik perkataan dibanding perkataan si fulan.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).

Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” [HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih]

Semoga perkataan Al-imam Malik dan Imam Syafi’i rahimakumullahu di atas menjadi teladan bagi kita dalam berilmu dan beramal. Tidak membuat kita jadi fanatik dan taklid buta pada suatu madzhab (pendapat). Boleh saja kita menjadikan madhzab kholaf sebagai jalan mudah dalam memahami hukum Islam. Namun ingat, ketika suatu pendapat bertentangan dengan dalil, maka dahulukanlah dalil.

Wallahu waliyyut taufiq.


Hendra @ibnibahrayni

Selasa, 09 April 2019

Bolehnya Menitip Pertanyaan (soal agama) kepada Teman untuk di sampaikan kepada Ahli Ilmu

Bolehnya menitip pertanyaan kepada teman untuk di sampaikan kepada ahli ilmu.

Dalilnya:

عن علي بن أبي طالب قال كنت رجلا مذاء فأمرت المقداد بن الاسود أن يسأل النبي صل الله عليه وسلم فسأل فيه الوضوء

Dari 'Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu 'anhu) beliau berkata,
"Saya adalah orang yang sering mengeluarkan madzi. Kemudian saya perintahkan kepada al-Miqdad bin al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam. Ia pun bertanya kepada Nabi, dan Nabi bersabda: itu (menyebabkan harus) berwudhu."

(HR. al-Bukhari no. 129)

Selasa, 02 April 2019

MENYERUKAN  SUNNAH DAN MEMPERINGATKAN DARI BID’AH.


MENYERUKAN  SUNNAH DAN MEMPERINGATKAN DARI BID’AH.
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
Belakangan ini, sebagian orang dan golongan mempermasalahkan seruan untuk meninggalkan bid’ah, yaitu sesuatu perkara yang berkaiatan dengan yang tidak pernah ada di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beralasan bahwa dakwah untuk meyeru umat agar meninggalkan bid’ah; baik dalam aqidah, ibadah atau aspek lainnya hanya akan melemahkan umat dan memantik perpecahan di tengah mereka. Bahkan dimunculkanlah kembali slogan, mari kita saling membantu dalam perkara yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan, demi kesatuan umat. Apakah klaim mereka dapat diterima dan dibenarkan?
Sunnah dan bid’ah, dua kata yang saling bertolak-belakang, namun keduanya pernah disampaikan oleh lisan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dengan nada pujian, dan perintah untuk memeganginya sekuat-kuatnya. Sementara ungkapan bid’ah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lontarkan dalam ungkapan yang menunjukkan keburukannya dan memperingatkan umat dari bahayanya  serta menyampaikannya sebagai penyebab terjadinya perselisihan dan pecah-belah di tengah umat.
Dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya memuncak, sampai-sampai Beliau seperti orang yang tengah memperingatkan pasukannya, “Waspadalah, waspadalah (dari ancaman musuh), “ dan kemudian bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara ialah perkara-perkara baru yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan. [1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا. فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَبِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ . وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh, mendengar dan taat (kepada waliyyul amr) walaupun ia seorang budak sahaya dari Habasyi. Sesungguhnya orang yang hidup dari kalian sepeninggalku, maka ia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka, kewajiban kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin yang memperoleh petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[2]
Melalui dua hadits mulia ini, menjadi sangat jelas urgensi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kewajiban mengikutinya serta keselamatan orang-orang yang menapaki jalannya dan larangan menyelisihinya.
Para Sahabat dan generasi Tabi’in telah memahami perihal ini dengan sebaik-baiknya. Maka, mereka senantiasa menyuarakan dengan terang-terangan ajakan untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperingatkan dari bid’ah.
‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah mengatakan:
إِيَّاكُمْ وَأَصْحَابَ الرَّأْيِ. فَإِنَّ أَصْحَابَ الرَّأْيِ أَعْدَاءُ السُّنَنِ. أَعْيَتْهُمُ اْلأَحَادِيْثُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا فَقَالُوْا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Jauhilah oleh kalian orang-orang yang mengutamakan ra`yu (daripada wahyu). Sesungguhnya mereka itu musuh sunnah-sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka tidak mampu menghafalkan hadits-hadits, lalu mereka berpendapat dengan rayu (sendiri). Akhirnya, mereka sesat dan menyesatkan”. [3]
‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan:
اتَّبِعُوْا وَلَا تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ. وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Ikutilah (petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), janganlah kalian mengadakan ajaran baru. Sungguh kalian sudah tercukupi, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. [4]
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz rahimahullah mengatakan:
السُّنَّةُ إِنَّمَا سَنَّهَا مَنْ عَلِمَ مَا جَاءَ فِيْ خِلَافِهَا مِنَ الزَّلَلِ, وَلَهُمْ كَانُوْا عَلَى الْــمُنَازَعَةِ وَالْجَدَلِ أَقْدَرَ مِنْكُمْ
“Sunnah itu digariskan oleh sosok yang mengetahui adanya kekeliruan bila menyelisihinya. Dan sungguh mereka itu (para Sahabat) lebih mahir untuk mempertentangkan dan berdebat daripada kalian (namun tidak mereka lakukan dan tetap mengikuti petunjuk)”. [5]
Orang yang keluar dari manhaj ini dalam berdakwah, tidak diragukan lagi, ia telah melahirkan sebuah marabahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat sosialnya. Maka, masyarakat perlu diperingatkan dari cara-cara dakwah seperti itu, yang mengabaikan peringatan bagi umat dari bid’ah-bid’ah. Dan alhamdulillah, para pembelas Sunnah Nabi dan imam-imam teladan umat telah menjalankan fungsi ini.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Para pembela Islam dan imam-imam penyeru hidayah senantiasa meneriakkan tentang mereka di seluruh penjuru dunia dan memperingatkan (umat) dari mengikuti jalan mereka dan mengikuti peninggalan-peninggalan dari seluruh firqoh yang ada”. [6]
Demikianlah, menjadi jelas manhaj dakwah generasi Salah umat ini dalam ilmu, amal dan dakwah, yaitu komitmen kuat dengan petunjuk atau Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jalannya, mendakwahkannya kepada khalayak dan memperingatkan umat dari menyelisihinya dan orang-orangnya.
Bilamana para pengusung dakwah Islam mengabaikan perihal ini dan melalaikannya, niscaya keberadaan mereka akan melemah, kekuatan mereka akan goncang, persatuan mereka akan tercerai-berai. Dan akhirnya, orang-orang pun akan terbenam dalam bid’ah dan perkara-perkara yang diada-adakan dalam agama ini.
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz rahimahullah sudah mengingatkan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah pengganti Beliau telah menggariskan petunjuk-petunjuk. Memegangi petunjuk-petunjuk itu bukti membenarkan Kitabullah dan penyempurna ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , serta kekuatan di atas agama Allâh. Siapapun tidak berhak merubah-rubah dan menggantinya, serta menggagas pandangan yang bertentangan dengannya. Barang siapa mendapatkan petunjuk tersebut, dialah orang yang memperoleh petunjuk (dengan sebenarnya). Dan barang siapa membelanya, niscaya ia akan dibela (oleh Allâh Azza wa Jalla ). Dan barang siapa menentangnya, ia telah mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukminin, dan Allâh akan biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang dikehendakinya itu, dan akan memasukkannya ke Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali”. [7]
Setelah memahami hakikat-hakikat ini, tidak patus seorang muslim yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Hari Akhir lebih memandang kuantitas yang banyak sebagai parameter kebenaran. Indikator kebenaran tidak dinilai dari jumlah pelaku dan pengikut yang banyak, namun dinilai melalui keselarasan dengan dalil-dalil-dalil syar’i, baik dari Al-Qur`ân maupun Sunnah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allâh.[Al-An’âm/6:116]
Hadits-hadits yang melarang berpecah-belah yang telah dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa umat akan berpecah-belah menjadi 73 golongan yang semua berada di neraka kecuali satu golongan, itu sebaik-baik dan sejelas-jelas dalil yang berhadapan dengan orang-orang yang menaruh perhatian untuk menyatukan umat di atas asas yang tidak berlandaskan aqidah yang benar dan  mengikuti Sunnah. Atensi besar mereka hanyalah jumlah manusia yang banyak dan mayorits yang tidak bertumpu di atas jalan yang satu.
Jumlah manusia yang banyak itu, meskipun terlihat bersatu dan menyatu, namun tetap saja masuk kategori bercerai-berai dan berpecah-belah, sebab golongan-golongan, tarekat-tarekat dan pandangan-pandangan itu tidak berpijak pada asas aqidah yang lurus dan mengikuti Sunnah Nabi. Maka, kesudahannya ialah bercerai-berai dan saling berselisih.
Jalan dakwah itu satu. Petunjuk Sunnah juga satu. Mengikuti jalannya adalah hidayah dan menyelisihanya adalah sebab kesesatan.
Oleh sebab itu, Imam Ibn Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan: “Sunnah adalah jalan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sementara (makna) jamaah ialah jama’ah kaum Muslimin. Mereka itu adalah para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik) hingga Hari Kiamat. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah kesesatan”. [8]
Kebenaran metodologi dalam memahami Islam bergantung pada aspek mengikuti Sunnah dan atsar. Dan yang menyimpang darinya, maka termasuk golongan yang berpecah-belah. Bila umat Islam berjalan di atas garis Sunnah dan meninggalkan jalan-jalan ahli bid’ah, maka akan selamat dari ketakutan terhadap musuh dan perpecahan.
Karena itulah, seluruh golongan pengusung dakwah yang mengabaikan peringatan terhadap bid’ah, hendaknya mereka mempelajari sejarah para dai generasi terdahulu dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang Al-Qur`an telah berbicara tentang mereka, dan mereka selalu berbicara dengan pedomannya, yang Islam telah menyebar melalui dakwah mereka, hendaknya golongan para pengusung dakwah itu memahami Islam sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang mulia itu (para Sahabat dan Tabi’in) dan berjalan di atas lintasan mereka dan meretas dakwah di atas metode mereka, dengan memperhatikan pola dakwah yang sejalan dengan masa kekinian, problematika yang ada, situasi dan kondisi orang-orang. Bila mereka tidak menapaki jalan ini, maka tidak akan ada keberhasilan atau kemajuan dalam dakwah apapun, sebab merupakan aktifitas yang tidak memenuhi syarat dan itu bukan amal yang shaleh”. [9]
(Diringkas dari Ususu Manhaji as-Salafi fi ad-Da’wati Ila Allâh, Fawwâz bin Halîl bin Rabâh as-Suhaimi, Dar Ibni Utsman, Cet. I, Thn.1423H-2003M, hlm.91-97)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Muslim no. 767.
[2] HR. Abu Dawud no.4607 dan at-Tirmidzi hlm.2676.
[3]Sunan ad-Dâruquthni 4/146.
[4]Al-Ibânah1/327.
[5]Al-Ibânah1/123.
[6]Ighâtsatu al-Lahafân 1/175.
[7]Asy-Syarî’ah, al-Aajurri 1/48.
[8]Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah hlm.544.
[9] Masyâkilu ad-Da’wah wa ad-Du’ât fil ‘Ashril Hadîts, Syaikh Muhammad Amân hlm.24-25.