Senin, 27 Mei 2019

MEMBELA AGAMA ALLAH

Membela Agama Allah

Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kaki-kaki kalian.” (Muhammad: 7)

Al-'Allamah As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan:

هذا أمر منه تعالى للمؤمنين ، أن ينصروا الله بالقيام بدينه ، والدعوة إليه ، وجهاد أعدائه ، والقصد بذلك وجه الله ، فإنهم إذا فعلوا ذلك ، نصرهم الله وثبت أقدامهم

"Ini perintah Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menolong Allah dengan cara menjalankan agama-Nya, mendakwahkannya dan jihad melawan musuh-musuhnya. Tujuan dari semua itu hanyalah untuk mengharap wajah Allah. Sungguh jika mereka mengupayakannya maka Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kaki-kaki mereka." (Taisirul Karimirrohman hal. 785)

Membela agama Allah hanyalah melalui cara yang diridhoi Allah yaitu dengan menjalankan agama-Nya sesuai sunnah (petunjuk) Rosul-Nya shollallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan cara-cara alternatif yang menyelisihi sunnah beliau tidaklah menambah kecuali semakin menjauhkan manusia dari keridhoan Allah dan pertolongan-Nya.

Hal yang sering luput dari kesadaran kita bahwasanya pertolongan Allah amatlah dekat. Namun kebanyakan orang kurang bersabar dan merasa lebih mantap dengan pertolongan-pertolongan yang dijanjikan manusia meski resikonya harus menyelisihi jalannya Rosul shollallahu 'alaihi wasallam. Padahal Allah senantiasa menolong hamba-Nya dan mengokohkan kedudukannya selama dirinya mau bersabar menolong agama-Nya.

Maka kekuatan mana di dunia ini yang mampu menghadang pertolongan Allah bila turun kepada hamba-Nya?

https://t.me/manhajulhaq

Penulis.
Ustadz Fikri Abul Hasan hafidzhahullah

Jumat, 24 Mei 2019

I'TIKAF

بسم الله الرحمن الرحيم
I'TIKAF || by. @Manhajulhaq

1. Fiqh Seputar I'tikaf
2. Hukum I'tikaf dan Batas Minimal Waktunya
3. Kapan Mulai I'tikaf?
4. Wanita I'tikaf di Masjid?

Penulis: Ustadz Fikri Abul Hasan hafidzhahullah.

Pembahasan pertama: Fiqh Seputar I'tikaf

Pengertian i'tikaf secara bahasa adalah "al-iqomah" (menetap) di suatu tempat dan bertahan (Lisanul 'Arob 9/255). Sedangkan secara istilah adalah tinggal di masjid yang dilakukan oleh orang yang khusus dengan ketentuan yang khusus pula. (Al-Mughni 6/208, Syarh Shohih Muslim 4/201)

Syaikh Al-'Allamah Al-Utsaimin menjelaskan, "I’tikaf adalah tinggal di dalam masjid dalam rangka melakukan amalan-amalan ketaatan kepada Allah 'azza wa jall." (Syarh Riyadhussholihin - Kitab "Al-I'tikaf")

Allah berfirman:

 ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد

“Dan janganlah kalian campuri mereka itu (isteri), sedang kalian beri'tikaf di dalam masjid.” (Al-Baqoroh: 187)

Ayat ini menjadi dalil bagi para Ulama bahwa i'tikaf berlaku di seluruh masjid atau musholla yang di dalamnya ditegakkan sholat berjamaah lima waktu. Al-Imam Al-Bukhori meletakkan satu bab khusus dalam kitab Shohih beliau berjudul:

 باب الاعتكاف في العشر الأواخر والاعتكاف في المساجد كلها

“Bab I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Romadhon dan I’tikaf di Seluruh Masjid.”

Adapun hadits Hudzaifah, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid, Masjidil Harom, Masjidil Aqsho dan Masjid An-Nabawi", ini dibawa kepada pemahaman afdholiyyah (keutamaan). Artinya tidak ada masjid yang lebih utama untuk beri'tikaf di dalamnya kecuali di tiga masjid tersebut.

Pembahadan ke dua: Hukum I'tikaf dan Batas Minimal Waktunya

Para Ulama telah berijma' (sepakat) bahwa i'tikaf hukumnya sunnah kecuali i'tikaf nadzar. Akan tetapi i'tikaf lebih ditekankan anjurannya pada 10 hari terakhir bulan Romadhon. (Al-Majmu' 6/475, Al-Ijma' Ibnul Mundzir 53)

Umar bin Al-Khotthob rodhiyallahu ‘anhu berkata:

كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام قال فأوف بنذرك

“Wahai Rosulullah, aku pernah bernadzar di masa jahiliyyah untuk beri’tikaf selama semalam di masjidil Harom. Beliau bersabda, tunaikanlah nadzarmu." (HR. Al-Bukhori 1891)

Adapun batas minimal waktu i'tikaf jumhur Ulama mengatakan cukup tinggal sesaat di dalam masjid. Boleh menetap lama di dalam masjid atau bahkan  hanya sesaat saja (Al-Majmu’ 6/489). Pendapat ini yang lebih kuat lantaran tidak ada dalil yang shohih dan shorih yang menunjukkan batas minimal waktunya seperti yang disebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah bin Baz.

Ya'la bin Umayyah rodhiyallahu 'anhu berkata:

إني لأمكث في المسجد الساعة وما أمكث إلا لأعتكف

"Sungguh aku pernah berdiam di masjid beberapa saat dan tidaklah aku berdiam melainkan untuk beri’tikaf." (Riwayat Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf)

Maka bagi siapa saja yang siang harinya bekerja sedang kesempatan beri'tikaf hanya dapat dilakukan di waktu malam maka dia termasuk mu'takif (orang yang i'tikaf). Meski yang lebih utama beri'tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Romadhon dengan menetap di dalam masjid sibuk mengamalkan ibadah-ibadah khusus seperti sholat, membaca Qur'an, berdzikir, berdoa dan bertaubat kepada Allah, serta tidak keluar dari masjid kecuali bila ada hajat. Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان

“Dahulu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon.” (HR. Al-Bukhori 2025 dan Muslim 1171)

Dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha:

كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله تعالى ثم اعتكف أزواجه من بعده

“Dahulu beliau beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon hingga Allah mewafatkannya, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sepeninggalnya.” (HR. Al-Bukhori 2026 dan Muslim 1172)

ان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج رأسه من المسجد وهو معتكف

"Bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mendongakkan kepalanya keluar masjid (untuk disisir dan dibersihkan)  lantaran beliau sedang i'tikaf." (HR. Al-Bukhori)

Pembahasan ke tiga: Kapan Mulai I'tikaf?

Para Ulama berbeda pendapat kapan orang yang hendak beri'tikaf mulai masuk ke dalam masjid?

Pendapat yang lebih kuat di sisi kami adalah pendapat jumhur Ulama, bahwa i'tikaf dimulai setelah terbenamnya matahari pada tanggal 21 Romadhon, yakni dia masuk ke dalam masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat ini yang lebih sesuai lahiriyah hadits, “Dahulu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Romadhon", sedangkan berpindahnya hari dimulai setelah matahari terbenam sehingga terhitung sepuluh malam.

Adapun akhir waktu i'tikaf adalah setelah matahari terbenam di akhir bulan Romadhon dari malam hari raya sebagaimana yang ditegaskan oleh para Ulama Syafiiyyah. Karena 1 Syawwal terhitung di luar 10 hari terakhir Romadhon. Namun apabila seseorang ingin melanjutkan i'tikafnya sampai pagi harinya maka hal itu tidak dilarang.

Pembahasan ke empat: Wanita I'tikaf di Masjid?

Para wanita hukum asalnya lebih utama menetap di dalam rumahnya dan keluar bila ada kebutuhan. Allah berfirman:

وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولی

“Dan hendaklah para wanita menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah sekali-kali kalian bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti wanita-wanita jahiliyyah dahulu." (Al-Ahzab: 33)

Sholatnya para wanita juga lebih utama di dalam rumahnya. Hal ini telah diingatkan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

خير مساجد النساء قعر بيوتهن

“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad 26002, Ibnu Khuzaimah 1683 dihasankan Syaikh Al-Albani "Shohih At-Targhib" 341)

Akan tetapi para wanita tidak dilarang sholat di masjid bersama kaum muslimin selama memperhatikan adab-adabnya. Mereka juga diperbolehkan i'tikaf di dalam masjid seperti yang dilakukan oleh isteri-isteri Nabi sepeninggal beliau shollallahu 'alaihi wasallam selama aman dari fitnah. Namun apabila i'tikafnya seorang wanita menghalangi dirinya dari kewajiban terhadap suami, anak-anak dan orangtua tentu yang wajib harus didahulukan.

Selesai, semoga bermanfaat.

****
☆ Dinukil dan disusun dari https://t.me/manhajulhaq (Channel Telegram: Ustadz Fikri Abul Hasan hafidzhahullah)

****
```Penyusun: Hendra @ibnibahrayni```

Sabtu, 11 Mei 2019

Bagaimana Ketika Makan Sahur Terdengar Adzan?

Ketika Makan Sahur Terdengar Adzan

Bagaimana apabila baru makan sahur ternyata fajar terbit dan adzan berkumandang?

Jawab: Para Ulama berselisih pendapat dalam hal ini antara yang mewajibkan berhenti dan boleh melanjutkan sesuai kebutuhan. Pendapat yang lebih kuat di sisi kami adalah pendapat yang kedua, seseorang diperbolehkan meneruskan makan sahurnya sesuai kebutuhan dan ini termasuk rukhshoh (keringanan) syariat. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه

“Apabila salah seorang dari kalian telah mendengar adzan sedang bejana air minum masih ada ditangannya maka janganlah dia letakkan bejananya itu sampai dia selesaikan hajatnya.” (HR. Abu Dawud - "Silsilah Ash-Shohihah" 1394)

Dari Abu Umamah:

أقيمت الصلاة و الإناء في يد عمر ، قال : أشربها يا رسول الله ؟ قال : نعم ، فشربها

"Sholat sudah ditegakkan (iqomah) sedang bejana masih di tangan Umar. Dia bertanya kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, "Bolehkah aku meminumnya?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka Umar meminumnya.” (Riwayat Ibnu Jarir 3/527 3017 dengan dua jalan - "Silsilah Ash-Shohihah" 1394)

Iqomah yakni beberapa saat setelah adzan. Umar masih tetap melanjutkan makan sahurnya dan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam tidak melarang.

Dari Hibban bin Al-Harits, “Kami pernah makan sahur bersama Ali bin Abi Tholib setelah kami selesai makan maka Ali menyuruh mu'adzdzinnya untuk menegakkan sholat (iqomah).” (Riwayat Ath-Thohawi dalam "Syarhul Ma’ani" 1/106 dan Al-Mukhlis dalam "Al-Fawa'id Al-Muntaqo 8/11/1 - "Silsilah Ash-Shohihah" 1394)

Sahl bin Sa’ad mengakhirkan sahurnya hingga berdekatan dengan waktu sholat, "Aku makan sahur bersama keluargaku lalu aku segera bergegas menuju masjid agar aku dapat bersujud (pada rokaat pertama sholat shubuh) bersama Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhori 1786)

Maka ketentuan "imsak" yaitu menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang jauh sepeninggal Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Ketentuan imsak seperti ini menyelisihi firman Allah yang memerintahkan makan sahur sampai terbit fajar serta menyelisihi petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan para shohabat beliau.

Oleh sebab itu para Ulama menegaskan, bahwa imsak termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama meski untuk alasan kehati-hatian.

Penulis: Ustadz. Fikri Abul Hasan hafidzhahullah.

sumber: https://t.me/manhajulhaq

Jumat, 10 Mei 2019

MENUNTUT ILMU ADALAH CARA TERMUDAH UNTUK KE SURGA

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Dalam sebuah hadits Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Barangsiapa Allâh kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan  menjadikannya paham (berilmu) tentang (urusan) agama (Islam)."
[HR. Al-Bukhâri, no. 2948 dan Muslim, no. 1037]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak dipahamkan dalam urusan agama maka (berarti) Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki kebaikan baginya." [Lihat: Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/60]

Maka dari itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus mengetahui dan berilmu tentang agama kita, paling tidak kita harus memahami dulu apa tujuan dan tanggung jawab kita hidup sebagai hamba Allah di dunia ini, barulah kita setelah mengetahuinya lalu kita mengamalkan syariat islam ini dengan benar karena Allah. Juga terdapat hadits shahih untuk memotivasi kita bersama agar kita selalu semangat menuntut ilmu supaya kita faham agama ini.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

"Barangsiapa menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu (agama), maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga." [HR. Muslim, no. 2699]

Allaahu Akbar, masih enggankah kita untuk menghadiri majelis-majelis ilmu dalam rangka mengamalkan hadits di atas supaya Allah menghadiahkan surga kepadamu? Ingatlah seperti kata Imam ibnul Qayyim di atas tadi, bahwasanya sekali lagi saya katakan dan ini sebagai renungan untuk saya pribadi dan khususnya untukmu saudara-saudaraku sekalian, "orang yang tidak faham akan agamanya kata Imam ibnul Qayyim, tandanya Allah tidak menginginkan kebaikan kepadanya, apalagi yang cuek akan pentingnya memahami islam? Na'udzubillahi min dzalik...
Wallahu a'lam.

Semoga saya dan saudara sekalian adalah yang Allah selalu berikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita agar selalu istiqomah meniti jalan yang lurus. Aamiin.

Semoga sedikit tulisan nasehat ini bermanfaat bagi saya dan pembaca.

Al-Fakir: Hendra ibni Bahrayni.





Tepatkah Belajar Agama Tanpa Guru?

Sumber: https://muslim.or.id/27667-tepatkah-belajar-agama-tanpa-guru.html

Mempelajari agama Islam merupakan kewajiban bagi setiap pemeluknya.  Dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak menunjukkan tentang wajibnya ibadah yang satu ini.

Hari ini setiap orang yang ingin mempelajari Islam dapat dengan mudah melakukannya. Kemajuan dunia teknologi dan berkembangnya dunia tulis-menulis khususnya buku-buku agama Islam membuat setiap orang bisa kapan saja dan dimana saja mempelajari agamanya. Akan tetapi ada satu hal yang perlu diperhatikan belakangan ini, beberapa orang merasa cukup untuk belajar dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang beredar di berbagai media, tanpa perlu bimbingan seorang guru. Apakah hal ini tepat bagi seorang muslim dalam mempelajari agama-Nya, khususnya para penuntut ilmu? Simak paparan berikut ini.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Kitabul ‘Ilmi menjelaskan bahwa seseorang penuntut ilmu hendaknya memiliki guru dan tidak membiarkan dirinya belajar sendiri tanpa bimbingan. Seseorang yang memiliki guru akan memperoleh beberapa manfaat, diantaranya:
Menemukan metode yang mudah dalam belajar.
Dia tidak perlu bersusah payah memahami sebuah kitab untuk melihat apa pendapat yang paling kuat dan apa sebabnya, demikian pula apa pendapat-pendapat yang lemah dan alasannya. Ketika seseorang memiliki guru, maka guru itu yang akan mengajarinya dengan metode yang lebih mudah. Guru itu akan menjelaskan perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu, manakah pendapat yang terkuat beserta dalil-dalilnya. Tidak diragukan lagi, hal ini sangat bermanfaat bagi penuntut ilmu. Agar lebih cepat paham.

Seorang penuntut ilmu jika membaca di hadapan gurunya akan lebih cepat mengerti dibandingkan jika mempelajari sendiri.  Jika dia hanya membaca seorang diri, boleh jadi ia akan menemukan istilah-istilah baru yang sulit untuk dipahami dan membutuhkan usaha serta pengulangan yang memakan waktu dan tenaga. Bahkan bisa jadi dia jatuh dalam kesalahan saat memahaminya, Adanya hubungan yang terjalin antara penuntut ilmu dan para ulama. Maka dari itu membaca sebuah buku di hadapan para ulama lebih bermanfat dan lebih utama daripada membacanya sendiri.

Di kesempatan lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang sebuah ungkapan yang berbunyi :

مَنْ كَانَ شَيْخُهُ كِتَابَهُ فَخَطَئُهُ أَكْثَرْ مِنْ صَوَابِهِ

“Barangsiapa yang gurunya adalah bukunya, maka kesalahannya lebih banyak daripada benarnya”.

Syaikh mengatakan bahwa perkataan ini tidaklah benar maupun salah secara mutlak. Akan tetapi seseorang yang belajar dari sebuah buku dan orang-orang yang dikenal dengan ilmunya serta dapat dipercaya dalam menyampaikan ilmunya secara bersamaan maka hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi.
Wallahu A’lam.
***
(Referensi: Kitabul ‘Ilmi, cetakan pertama, tahun 1417 H. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Penerbit Dar Tsaraya, Riyadh.
Jelang Dzuhur, STAI Ali bin Abi Thalib)
Penulis: Ustadz. Noviyardi Amarullah
********

Baca juga: >> https://almanhaj.or.id/7524-lihatlah-dari-siapa-kamu-mengambil-ilmu-agamamu.html

LIHATLAH DARI SIAPA KAMU MENGAMBIL ILMU AGAMAMU

Oleh:
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA.
Semoga bermanfaat

Penyusun: Hendra ibni Bahrayni.

Kamis, 09 Mei 2019

Serba Serbi Wasiat Dalam Islam


Serba Serbi Wasiat dalam Islam.

Setiap muslim sudah seharusnya memahami apa itu wasiat. Salah memahami wasiat, bisa berdampak fatal. Salah berwasiat, bisa bernilai kedzaliman. Sebagai muslim yang baik, bagian ini wajib kita pahami, karena kita pasti akan mati.

* Ditulis oleh: Ustad Aris Munandar, M.P.I.

Beberapa hari yang lewat saya bincang bincang dengan seorang yang berasal dari keluarga poligami. Artinya ayahnya memiliki dua orang isteri dan dia anak dari ibu kedua. Dari ibu pertama sang ayah mendapatkan sembilan anak, sedangkan dari ibu kedua dia mendapatkan lima orang anak. Sebelum sang ayah meninggal dunia dia menuliskan wasiat berisi tata cara pembagian waris dari harta sang ayah. Anak anak dari ibu kedua diberi warisan berupa dua lokasi sedangkan anak anak dari ibu pertama diberi warisan dari satu lokasi yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan nilai dua lokasi di atas.

Inilah contoh kasus wasiat yang tidak dibenarkan oleh syariat. Mengapa wasiat di atas tergolong wasiat yang terlarang? Jawabannya bisa disimak di bawah ini.

Pengertian Wasiat

Kata Wasiat termasuk kosa kata bahasa arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia. Dalam bahasa aslinya, bahasa arab wasiat itu bermakna perintah yang ditekankan.

Wasiat dalam makna yang luas adalah nasihat yang diberikan kepada seorang yang dekat di hati semisal anak, saudara maupun teman dekat untuk melaksanakan suatu hal yang baik atau menjauhi suatu hal yang buruk. Wasiat dengan pengertian memberikan pesan yang penting ketika hendak berpisah dengan penerima pesan ini, biasanya diberikan saat merasa kematian sudah dekat, hendak bepergian jauh atau berpisah karena sebab lainnya.

Sedangkan wasiat yang kita bahas kali ini adalah khusus terkait pesan yang disampaikan oleh orang yang hendak meninggal dunia.
Wasiat jenis ini bisa bagi menjadi dua kategori:

Pertama, wasiat kepada orang yang hendak untuk melakukan suatu hal, semisal membayarkan utang, memulangkan pinjaman dan titipan, merawat anak yang ditinggalkan, dst.

Kedua, wasiatkan dalam bentuk harta, agar diberikan kepada pihak tertentu dan pemberian ini dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.

Hukum Wasiat

Hukum wasiat tergantung pada kondisi orang yang menyampaikan wasiat. Berikut rinciannya:

Menyampaikan wasiat hukumnya wajib untuk orang yang punya utang atau menyimpan barang titipan atau menanggung hak orang lain, yang dikhawatirkan manakala seorang itu tidak berwasiat maka hak tersebut tidak ditunaikan kepada yang bersangkutan.Berwasiat hukumnya dianjurkan untuk orang yang memiliki harta berlimpah dan ahli warisnya berkecukupan. Dia dianjurkan untuk wasiat agar menyedekahkan sebagian hartanya, baik sepertiga dari total harta atau kurang dari itu, kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan atau untuk berbagai kegiatan sosial.Berwasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik seorang itu sedikit dan ahli warisnya tergolong orang yang hartanya pas-pasan. oleh karena itu banyak sahabat radhiyallahu ‘anhum, yang meninggal dunia dalam keadaan tidak berwasiat dengan hartanya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu bersedekah kepada kalian dengan sepertiga harta kalian ketika kalian hendak meninggal dunia sebagai tambahan kebaikan bagi kalian.” (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan Al-Albani).

Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia ada dua hal yang keduanya bukanlah hasil jerih payahmu. Pertama, kutetapkan sebagian hartamu untukmu ketika engkau hendak meninggal dunia untuk membersihkan dan mensucikanmu. Kedua, doa hamba hambaku setelah engkau meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah, dhaif).

Demikian pula hadits yang yang mengisahkan Nabi mengizinkan Saad bin Abi Waqash untuk wasiat sedekah sebesar sepertiga total kekayaannya [HR Bukhari dan Muslim].

Syarat Sah Wasiat

Pertama, terkait wasiat dalam bentuk meminta orang lain untuk mengurusi suatu hal semisal membayarkan utang, merawat anak yang ditinggalkan maka disyaratkan bahwa orang yang diberi wasiat tersebut adalah seorang muslim dan berakal. Karena jika tidak, dikhawatirkan amanah dalam wasiat tidak bisa terlaksana dengan baik.

Kedua, orang yang berwasiat adalah orang yang berakal sehat dan memiliki harta yang akan diwasiatkan.

Ketiga, isi wasiat yang disampaikan hukumnya mubah. Tidak sah wasiat dalam hal yang haram, semisal wasiat agar diratapi setelah meninggal dunia atau berwasiat agar sebagian hartanya diberikan kepada gereja atau untuk membiayai acara bid’ah, acara hura hura atau acara maksiat lainnya.

Keempat, orang yang diberi wasiat, bersedia menerima wasiat. Jika dia menolak maka wasiat batal dan setelah penolakan orang tersebut tidak berhak atas apa yang diwasiatkan.

Diantara Ketentuan Wasiat

Pertama, orang yang berwasiat boleh meralat atau mengubah ubah isi wasiat. Berdasarkan perkataan Umar, “Seseorang boleh mengubah isi wasiat sebagaimana yang dia inginkan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi).

Kedua, tidak boleh wasiat harta melebihi sepertiga dari total kekayaan. Mengingat sabda Nabi kepada Saad bin Abi Waqash yang melarangnya untuk berwasiat dengan dua pertiga atau setengah dari total kekayaannya. Ketika Saad bertanya kepada Nabi, bagaimana kalau sepertiga maka jawaban Nabi, “Sepertiga, namun sepertiga itu sudah terhitung banyak. Jika kau tinggalkan ahli warismu dalam kondisi berkecukupan itu lebih baik dari pada kau tinggalkan mereka dalam kondisi miskin lantas mereka mengemis ngemis kepada banyak orang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, Dianjurkan agar kurang dari sepertiga, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas, “Andai manusia mau menurunkan kadar harta yang diwasiatkan dari sepertiga menjadi seperempat mengingat sabda Nabi ‘sepertiga akan tetapi sepertiga itu banyak’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keempat, yang terbaik adalah mencukupkan diri dengan berwasiat seperlima dari total kekayaannya, mengingat perkataan Abu Bakar, “Aku ridho dengan dengan apa yang Allah ridhoi untuk dirinya” yaitu seperlima.” (Syarh Riyadhus Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 1/44).

Kelima, Larangan untuk berwasiat dengan lebih dari sepertiga itu hanya berlaku orang yang memiliki ahli waris. Sedangkan orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris dia diperbolehkan untuk berwasiat dengan seluruh hartanya.

Keenam, Wasiat dengan lebih dari sepertiga boleh dilaksanakan manakala seluruh ahli waris menyetujuinya dan tidak mempermasalahkannya.

Ketujuh, tidak diperbolehkan [baca: haram] dan tidak sah, wasiat harta yang diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan warisan meski dengan nominal yang kecil, kecuali jika seluruh ahli waris sepakat membolehkannya, setelah pemberi wasiat meninggal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu telah memberikan kepada semua yang memiliki hak apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat harta bagi orang yang mendapatkan warisan.” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al Albani).

Kedelapan, Jika wasiat harta untuk orang yang mendapatkan warisan itu ternyata hanya disetujui oleh sebagian ahli waris karena sebagian yang lain menyatakan ketidaksetujuannya maka isi wasiat dalam kondisi ini hanya bisa dilaksanakan pada bagian yang menyetujui isi wasiat namun tidak bisa diberlakukan pada bagian warisan yang tidak menyetujuinya.

Penutup

Pada kasus wasiat di bagian prolog tulisan, wasiat tersebut termasuk wasiat terlarang, karena wasiat tersebut menyebabkan aturan Islam dalam pembagian harta warisan tidak bisa dilaksanakan. Dalam aturan Islam semua anak baik dari ibu pertama maupun dari ibu yang kedua memiliki hak yang sama atas harta peninggalan ayahnya. Sehingga seharusnya seluruh harta milik ayah diinventaris dengan baik kemudian dibagikan kepada seluruh anak yang ada, baik dari ibu pertama maupun ibu kedua. Kemudian dibagi dengan aturan Islam yaitu anak laki laki mendapatkan dua kali lipat bagian anak perempuan. Allahu a’lam.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

© Konsultasi kesehatan dan Tanya Jawab Islam Copyright 2009-2018 - KonsultasiSyariah.com

Sumber: https://konsultasisyariah.com/17822-serba-serbi-wasiat-dalam-islam.html

Mencocoki Sunnah Dalam Beramal

Mencocoki Sunnah dalam Beramal

Syaikh Al-'Allamah Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin -rahimahullah- berkata:

إصابة السنة أفضل من كثرة العمل، ولهذا قال الله تعالى: ( ليبلوكم أيكم أحسن عملاً ) ولم يقل: أكثر

"Menepati sunnah lebih utama ketimbang banyak beramal. Karena Allah berfirman, "Agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya." Dan Allah tidak mengatakan, "Yang lebih  banyak!"

مثال: سنة الفجر يسن فيها التخفيف، فلو قال إنسان: أنا أريد أن أطيل القراءة ... وأطيل الركوع والسجود ... وقال آخر : أنا أصلي سنة الفجر ركعتين خفيفتين ... فالثاني أفضل؛ لأنه أصاب السنة، واتباع السنة أفضل

Sebagai contoh, shalat sunnah qabliyyah Shubuh disunnahkan takhfif (ringan pelaksanaannya). Jika ada orang berkata, "Aku ingin memanjangkan bacaan shalatku, ruku' dan sujudku." Yang lainnya berkata, "Aku ingin shalat sunnah qabliyyah Shubuh dua raka'at dengan ringan." Maka orang yang kedua lebih utama keadaannya. Karena ia mencocoki praktek Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan mengikuti sunnah beliau lebih utama." (Shifatus Shalah hal. 169)

Beliau juga berkata, "Betapa banyak orang yang diberi ilmu namun tidak dianugerahi pemahaman." (Ash-Shahwatul Islamiyyah)

Ditulis oleh:
Ustadz. Fikri Abul Hasan hafidzhahullahu ta'ala

Rabu, 08 Mei 2019

Secuil Kutipan Faedah Dari Buku Syarah kitab Tauhid

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

لا عدوى، ولا طيرة، ولا هامة، ولا صفر

"Tidak ada 'adwa (Penyakit menular dengan sendirinya) thiyarah (anggapan sial karena melihat burung dan yang selainnya), hamah (anggapan sial karena mendengar burung hantu), dan shofar (anggapan sial terhadap bulan shafar). [Shahih: HR. Bukhari. No 5707]

Muslim menambahkan:

ولا نوء، ولا غول

"...dan tidak ada nau' serta ghul." [Shahih: HR. Muslim. No 2220, 2222]

             Nabi ﷺ menafikan (menolak) apa-apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah dari keyakinan-keyakinan yang bathil berupa anggapan sial karena burung-burung, bulan-bulan tertentu dan bintang tertentu serta jib dan syaitan tertentu. Mereka beranggapan bahwa mereka mendapatkan bahaya dan kebinasaan disebabkan karena hal-hal tersebut. Sebagaimana mereka juga berkeyakinan berpindahnya penyakit dengan sendirinya dari satu tempat ke tempat yang lain.
             Maka, Nabi ﷺ membantah semua khurofat tersebut, menggantikan hal (bathil) tersebut dengan sikap tawakkal kepada Allah serta aqidah dan tauhid yang murni. [Al-Mulakhkhash fî Syarh Kitâbit Tauhîd. hlm 299]

1. Membatalkan thiyarah/tathayyur (anggapan sial dengan sesuatu)

2. Rusaknya keyakinan orang-orang Jahiliyah dahulu yang beranggapan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tidak menurut takdir (ketentuan Allah ta'ala)

3. Membatalkan keyakunan bahwa kehadiran burung hantu itu mengabarkan berita kematian.

4. Membatalkan keyakinan orang-orang Jahiliyah yang beranggapan sial dengan bulan shafar.

5. Membatalkan keyakinan yang salah tentang hantu (Jin). Keyakinan yang benar adalah bahwa hantu (Jin) dan yang lainnya tidak akan berbahaya selama seorang hamba berdzikir dan bertawakkal kepada Allah ta'ala semata.

6. Wajibnya bertawakkal kepada Allah dan bersandar hanya kepada-Nya.

7. Termasuk bentuk perwujudan terhadap tauhid adalah waspada dari sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan.

8. Membatalkan keyakinan-keyakinan manusia yang jelas rusak, seperti beranggapan sial dengan warna (hitam atau merah), sebagian nomor (angka tiga belas), nama-nama, pribadi tertentu, atau orang-orang ysng cacat. [Al-Mulakhkhash. hlm. 229]

✎ Dikutip dari buku: "Syarah Kitab Tauhid." Penulis: Ustadz. Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzhahullah - Cet. Ke 2. Penerbit: Pustaka imam asy-Syafi'i, hlm. 317-319. - Oleh: Hendra Ibni Bahrayni

Senin, 06 Mei 2019

Empat Tujuan Utama Dakwah Salafiyah

Bismillah

Saya mendengar di rekaman Audio Mp3, Berkata Ustadz Abu Hamzah:

Tujuan Utama Dakwah Salafiyah adalah,

Yang pertama, adalah Bekerja untuk menegakkan kalimat Allah di
muka bumi. (Tujuan dari dakwah salafiyah dan manhaj salaf adalah ini)

Kemudian yang ke dua, menyampaikan atau menunaikan amanat dengan menyampaikan dan menjelaskan syari'at Allah.

Berikutnya yang ke tiga, berusaha mengeluarkan manusia dari kesesatan, dari kegelapan menuju hidayah menuju cahaya Allah.

Kemudian yang terakhir yang ke empat, adalah, menegakkan hujjah kepada orang-orang yang menyimpang, orang-orang yang sesat jalannya (dari kitabullah Al-Qur`an dan As-Sunnah)

[Faedah mendengar kajian rekaman Mp3 - dari Al-Ustadz. Abu Hamzah Yusuf hafidzhahullah, dari: Hendra ibni Bahrayni]

Minggu, 05 Mei 2019

Akhlak Salafus Sholih

Shahabat radhiyallaahu 'anhum ajma'in, mereka adalah
orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam.

Di antara akhlak Salafush Shalih radhiallaahu 'anhum yaitu:

1. Ikhlas dalam ilmu dan amal serta takut dari riya'.

2. Jujur dalam segala hal dan menjauhkan diri dari sifat dusta.

3. Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.

4. Menjunjung tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi
wasallam.

5. Berusaha meninggalkan segala bentuk kemunafikan.

6. Lembut hatinya, banyak mengingat mati dan akhirat serta takut
 terhadap akhir kehidupan yang jelek (su'ul khatimah).

7. Banyak berdzikir kepada Allah Ta'ala dan tidak berbicara yang sia-
sia, tersenyum kepada sesama muslim.

8. Tawadhu' (rendah hati) dan tidak sombong.

9. Banyak bertaubat, beristighfar (mohon ampun) kepada Allah baik
siang maupun malam.

10. Bersungguh-sungguh dalam bertakwa dan tidak mengaku-ngaku
sebagai orang yang bertakwa, serta senantiasa takut kepada Allah.

11. Sibuk dengan aib diri sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain
serta selalu menutupi aib orang lain.

12. Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak
menggunjing sesama muslim)

13. Pemalu(*), malu ini adalah akhlak Islam sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam:
● "Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam
adalah malu." [Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 4181) dan ath-Thabrani dalam Mu'jamul Shaghir (l/13-14,
cet. Darul Fikr) dari Shahabat Anas bin Malik radhiallaahu 'anhu. Lihat: Silsilah al-Ahaadits
ash-Shahiihah (no. 940)]
Dan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam:
● "Malu itu tidak mendatangkan melainkan semata-mata kebaikan." [Shahih: HR. Al-Bukhari (no.6117) dan Muslim (no. 37 (60)) dari Shahabat Imran bin
Husain radhiallaahu 'anhu]

14. Banyak memaafkan dan sabar kepada orang yang menyakitinya (QS. Al-A'raaf: 199)

15. Banyak bershadaqah, dermawan, menolong orang-orang yang susah, tidak bakhil/tidak pelit.

16. Mendamaikan orang yang bersengketa. Mendamaikan perselisihan
adalah kebajikan yang terbaik dan puncak kebajikan.

17. Tidak hasad (dengki, iri), tidak berburuk sangka sesama mukmin.

18. Berani mengatakan kebenaran dan menyukainya. [Diringkas dan disadur dari Makaarimul Akhlak fi Dhau-il Qur-aanil Kariim was Sunnatish Shahihah al-Muthahharah, oleh Syaikh Salim bin 'Ied al Hilali, cet. II/ Daar Ibnul Qayyim, th. 1412 H, Wajiiz fii 'Aqidatis Salafish Shalih (hlm. 200-206), oleh 'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsary, cet. II/Darur Rayah, th. 1422 H dan Min Akhlaqis]

Keterangan:
(●) Hadits
(*) Malu adalah akhlak yang mulia, yang tumbuh untuk meninggalkan perkara-perkara yang
jelek sehingga menghalangi seseorang dari perbuatan dosa dan maksiat, serta menegahnya
darl melalaikan kewajban memenuhi hak orang-orang yang mempunyai hak. Lihat al-Haya' fi
Dhau-il Qur-aan al-Kari wa Ahaadits ash-Shahiihah oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali,
cet. 1408 H. Maktabah Ibnul Jauzy.

✎ Copas dari e-Book yang berjudul "MULIA DENGAN MANHAJ SALAF" (BAB 8 – Bagian Kesembilan) oleh Hendra Ibni Bahrayni.

Silahkan share semoga bermanfaat.